Jumat, 20 Maret 2015

Tugas Perekonomian Indonesia

Tugas Softskill Perekonomian Indonesia




DOSEN : IMMI FISKA

DISUSUN OLEH :

ANESWARI ENDAH A                           (21214183)
AZHELIA SYAFIRA                                (21214925)
CHINDY DEFAESTI                               (22214350)
METTA DEVI                                             (26214607)
M. LUTFI . A                                              (26214758)
RIO ASDIANGGA                                     (29214453)
ZAIRINA RAFANI                                   (2C214640)







UNIVERSITAS GUNADARMA
ATA 2014/2015




KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa  atas berkat rahmat dan karuniaNya yang diberikan kepada kita semua sebagai umatnya. saya dapat menyusun makalah ini untuk memenuhi mata kuliah Perekonomian Indonesia yang memiliki suatu muatan soft skill yang membuat kita menjadi diri yang mandiri.
Makalah yang disusun untuk mempelajari lebih detail mengenai perkembangan perekonomian Indonesia baik di dalam negeri dan di Dunia, saya berharap informasi yang saya dapatkan tidak hanya untuk saya sendiri melainkan untuk para pembaca sebagai ilmu untuk menambah wawasan .
Dalam kesempatan ini saya mengucapkan terima kasih ,semoga makalah ini dapat memberikan kontribusi positif dan memberikan manfaat dalam hidup kita nantinya .Dari lubuk hati yang paling dalam, sangat disadari bahwa ,makalah yang saya buat masih jauh dari sempurna . Oleh sebab itulah tidak ada salahnya saya mengharapkan berbagai kritik dan saran yang membangun untuk lebih baik kedepannya.


Bekasi  , Maret 2015



Penulis




DAFTAR ISI

Bab I
Kata Pengantar        …………………………………………………………………………………………  2
Daftar Isi                   ………………………………………………………………………………………..   3

Bab II
Analisa mengenai kebijakan pangan Indonesia pada masa penjajahan……………….. 4
Analisis mengenai kebijakan pangan dan pembangunan pertanian di Indonesia pada masa kemerdekaan Indonesia    …………………………………………………………………….. 7
Analisis mengenai kebijakan pangan pembangunan tanaman non Pangan pada berbagai era pembangunan………..……………………………………………………………………..10
Analisis mengenai perubahan struktur ekonomi Indonesia………………………………12
Analisis mengenai strategi pembangunan sector industri pengganti impor ………….14
Analisis mengenai strategi industry pendorong ekspor ……………………………………..  16
Analisis mengenai peran teknologi dan dampak industry
terhadap pengangguran     ……………………………………………………………………………….18
BAB III
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………………………………………..21






1.      ANALISIS KEBIJAKAN PANGAN DIINDONESIA PADA MASA PENJAJAHAN


Pada saat Indonesia berada dalam jajahan bangsa Belanda, pemerintah pada saat itu, yaitu bangsa Belanda, membentuk lembaga pangan yang terkait dengan distribusi dan logistik beras, yang diberi nama Stichting Het Voedingsmidlenfonds (VMF) pada akhir bulan April 1939. Pendirian VMF tersebut merupakan cerminan pandangan pemerintah Belanda bahwa masalah beras sangat penting dan memerlukan pengaturan khusus dari pemerintah. Pada awal tahun 30-an, pemerintah Belanda memberikan kebebasan pasar dengan sedikit sekali pengendalian langsung dari pemerintah, namun kebijaksanaan yang diambil tersebut pada umumnya bertujuan untuk menjaga agar harga beras yang dibayar konsumen cukup rendah. Hal ini mengingat Belanda telah menanam modal besar-besaran di berbagai perkebunan di Indonesia, seperti perkebunan gula, karet, tembakau, kopi, dan kelapa sawit. Agar mereka membayar tingkat upah yang rendah maka perlu dijaga agar harga bahan konsumsi yang penting, yaitu beras, tetap dapat dipertahankan pada tingkat yang rendah.
Mulai awal 1933, impor dibatasi dengan cara lisensi dan harga-harga diawasi langsung oleh pemerintah. Pemerintah berupaya menggalakkan perdagangan beras antar pulau dan antar propinsi dengan tujuan agar daerah-daerah defisit beras di luar Jawa memperoleh tambahan beras dari daerah-daerah surplus seperti Jawa, Bali, dan Sulawesi Selatan. Kebijaksanaan baru ini kemudian berkembang ke arah pengawasan langsung perusahaan penggilingan beras, agar tidak melakukan hal-hal yang dapat menggoyah pasar beras _isba (Mears dan Moeljono, 1990).
Saat Belanda menyerah kepada Jepang, maka VMF turut diambil alih sampai akhir Perang Dunia II. Badan ini dikenal dengan nama Sangyobu-NannyoKohatsu Kaisha (SKK). Lalu terjadilah pergeseran campur tangan pemerintah dengan mengutamakan supply untuk memenuhi kebutuhan logistik bala tentara Jepang dalam perang (Sapuan, 2000).

·         Kelemahan Paradigma Ketahanan Pangan Indonesia Pada Masa Lalu
Kelemahan mendasar kebijakan pangan yang lalu adalah rumusan tujuan dan implementasinya yang diarahkan terutama untuk mencapai stabilitas politik dan ekonomi dan bukan pada pencapaian ketahanan pangan berkelanjutan. Dalam hal ini jaminan ketersediaan beras (pangan pokok penduduk) pada tingkat harga rendah dan stabil adalah kondisi untuk pencapaian stabilitas ekonomi dan politik. Disamping itu pemerintah telah mengadopsi batasan ketahanan pangan yang sangat sempit, yaitu (Person and monke, 1991), yakni kemampuan negara untuk menghasilkan pangan yang cukup untuk seluruh konsumen pada tingkat harga yang terjangkau. Oleh karena itu kelangkaan pangan secara cepat tercermin pada kenaikan harga pangan, ketahanan pangan sangat terkait dengan kemampuan pemerintah untuk menjaga stabilitas harga pangan domestik. Beberapa kelemahan konsep ketahanan pangan yang lalu adalah telah
diidentisipasi oleh Simatupang (2000), yakni :
1.       Konsep ketahanan pangan didasarkan pada difinisi pada pendekatan ketersediaan pangan dalam mencapai ketahanan pangan. Difinisi ini sangat terkait dengan stabilitas harga pada tingkat harga yang terjangkau dengan tiga asumsi : (a) kelangkaan pangan pangan dengan cepat tercermin dari kenaikan harga; (b) Harga yang terjangkau untuk menjamin akses seluruh konsumen mendapatkan pangan yang cukup ; dan (c) Produksi pangan domestik yang cukup (swasembada) adalah cara efektif bagi stabilitas harga pangan domestik (ketahanan pangan). Ketiga asumsi ini mengarahkan pada konsep pokok bahwa swasembada adalah definisi terdekat dari ketahanan pangan yang berkelanjutan yang dianggap sebagai asumsi yang tidak relistik.
2.       Konsep ketahananan pangan yang lalu telah gagal dalam mengantisipasi peran pendapatan masyarakat dan mekanisme non pasar dalam peningkatan akses terhadap pangan yang menjadi penyebab utama kegagalan program ketahanan pangan. Program ketahanan pangan tidak mencakup elemen peningkatan pendapatan rumah tangga, Hal ini menjadi penyebab terjadinya krisis pangan tahun 1998, yang dianggap sebagai pengaruh dari krisis ekonomi daripada pengaruh penurunan ketersediaan pangan. Sebenarnya tidak ada kelangkaan pasokan pangan , namun kebanyakan rumah tangga tidak mempunyai pendapatan yang cukup untuk membeli pangan.
3.      Kegagalannya dalam mengantisipasi pentingnya dimensi local dan rumah tangga bagi ketahanan pangan individu. Paradigma lama lebih mementingkan ketahanan pangan secara nasional secara luas. Namun pengalamanmenunjukkan bahwa ketahanan pangan nasional itu penting, tetapi itu tidak cukup untuk menjamin ketahanan pangan local dan rumah tangga. Basisketahan pangan nasional telah mengabaikan pendekatan ketahanan pangan pada wilayah terpencil. Kegagalan ini telah menyebabkan pada beberapa daerah telah dijumpai masyarakat yang kelaparan sehingga menimbulkan paradok kelaparan.
4.      Adanya dilemma kebijakan, utamanya kebijakan harga yang murah dan stabil telah menimbulkan : (a) tidak kondusif untuk produksi pangan domestik dan peningkatan pendapatan petani, (b)membutuhkan subsidi pemerintah dan sangat mahal bagi anggaran pemerintah, (c) strategi tersebut tidak berkelanjutan baik secara ekonomis maupun politik, (d) strategi harga pangan murah menguntungkan konsumen, tetapi merupakan disinsentif bagi petani produsen, (e) strategi ini tidak fair, tidak konsisten dengan tujuan pemerataan pendapatan, bertentangan dengan program penanggulangan kemiskinan.

·         Arah Kebijakan
Sesuai dengan perkembangan era globalisasi dan liberalisasi perdagangan, beberapa komoditas pangan telah menjadi komoditas yang semakin strategis, karena dinamika ketidakpastian dan ketidakstabilan produksi nasionalnya, sehingga tidak senantiasa dapat mengandalkan pada ketersediaan pangan di pasar dunia. Oleh karena itu, sebagian besar negara-negara menetapkan Sistem Ketahanan Pangan untuk kepentingan dalam negerinya, termasuk Indonesia. Pembangunan ketahanan pangan harus dipandang sebagai bagian tidak terlepaskan dari wawasan ketahanan nasional. Oleh karena itu pemerintah berupaya terus memacu pembangunan ketahanan pangan melalui program–program yang benar-benar mampu memperkokoh ketahanan pangan sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

1.      Pemantapan ketahanan pangan.
Arah kebijakan: (a) menjamin ketersediaan pangan, terutama dari produksi dalam negeri, dalam jumlah dan keragaman untuk mendukung konsumsi pangan sesuai kaidah kesehatan dan gizi seimbang; (b) mengembangkan kemampuan dalam pemupukan dan pengelolaan cadangan pangan pemerintah dan masyarakat; (c) meningkatkan kapasitas produksi pangan nasional melalui penetapan lahan abadi untuk produksi pangan dalam rencana tata ruang wilayah dan meningkatkan kualitas lingkungan serta sumberdaya lahan dan air.

2.     Peningkatan kemudahan dan kemampuan mengakses pangan.
Arahkebijakan: (a) meningkatkan daya beli dan mengurangi jumlah penduduk yang miskin; (b) meningkatkan efektivitas dan efisiensi distribusi dan perdagangan pangan melalui pengembangan sarana dan prasarana distribusi dan menghilangkan hambatan distribusi pangan antar daerah; (C) mengembangkan teknologi dan kelembagaan pengolahan dan pemasaran pangan untuk menjaga kualitas produk pangan dan mendorong peningkatan nilai tambah; (d) meningkatkan dan memperbaiki infrastruktur dan kelembagaan ekonomi perdesaan dalam rangka mengembangkan skema distribusi pangan kepada kelompok masyarakat tertentu yang mengalami kerawanan pangan.

3.     Peningkatan kuantitas dan kualitas konsumsi pangan menuju gizi seimbang.
Arah kebijakan: (a) menjamin pemenuhan asupan pangan bagi setiapanggota rumah tangga dalam jumlah dan mutu yang memadai, aman dan halaldikonsumsi dan bergizi seimbang; (b) mendorong, mengembangkan danmembangun, serta memfasilitasi peran serta masyarakat dalam pemenuhanpangan sebagai implementasi pemenuhan hak atas pangan; (c) mengembangkanprogram perbaikan gizi yang cost effective, diantaranya melalui peningkatan danpenguatan program fortifikasi pangan dan program suplementasi zat gizi mikrokhususnya zat besi dan vitamin A; (e) mengembangkan jaringan antar lembagamasyarakat untuk pemenuhan hak atas pangan dan gizi; dan (f) meningkatkanefisiensi dan efektivitas intervensi bantuan pangan/pangan bersubsidi kepadamasyarakat golongan miskin terutama anak-anak dan ibu hamil yang bergizikurang.

4.     Peningkatan status gizi dan kesehatan masyarakat.
Arah kebijakan: (a) mengutamakan upaya preventif, promotif dan pelayanan gizi dan kesehatan kepada masyarakat miskin dalam rangka mengurangi jumlah penderita gizi kurang, termasuk kurang gizi mikro (kurang vitamin dan mineral), (b) memprioritaskan pada kelompok penentu masa depan anak, yaitu, ibu hamil dan calon ibu hamil/remaja putri, ibu nifas dan menyusui, bayi sampai usia dua tahun tanpa mengabaikan kelompok usia lainnya; (c) meningkatkan upaya preventif, promotif dan pelayanan gizi dan kesehatan pada kelompok masyarakat dewasa dan usia lanjut dalam rangka mengurangi laju peningkatan (tren) prevalensi penyakit bukan infeksi yang terkait dengan gizi yaitu kegemukan, tekanan darah tinggi, diabetes, dan kanker; serta penyakit degenaratif lainnya; (d) meningkatkan kemampuan riset di bidang pangan dan gizi untuk menunjang upaya penyusunan kebijakan dan program, monitoring, surveilan gizi, dan evaluasi program pangan dan gizi, berdasarkan bukti (evidence-based); (e) meningkatkan profesionalisme tenaga gizi dari berbagai tingkatan melalui pendidikan dan pelatihan yang teratur dan berkelanjutan dan memperbaiki distribusi penempatan tenaga gizi tersebut; (f) meningkatkan efektivitas fungsi koordinasi lembaga-lembaga pemerintah dan swasta di pusat dan daerah, dibidang pangan dan gizi sehingga terjamin adanya keterpaduan kebijakan, program dan kegiatan antar sektor di pusat dan daeah, khususnya dengan sektor kesehatan, pertanian dan ketahanan pangan, industri, perdagangan, pendidikan, agama, pengentasan kemiskinan, serta pemerintahan
daerah.
5.     Peningkatan mutu dan keamanan pangan.
Arah kebijakan: (a) meningkatkan pengawasan keamanan pangan; (b) melengkapi perangkat peraturan perundangundangan di bidang mutu dan keamanan pangan; (c) meningkatkan kesadaran produsen, importir, distributor dan ritel terhadap keamanan pangan; (d) meningkatkan kesadaran konsumen terhadap keamanan pangan, dan (e) mengembangkan teknologi pengawet dan pewarna makanan yang aman dan tidak memenuhi syarat kesehatan serta terjangkau oleh usaha kecil dan menengah produsen makanan dan jajanan.

6.     Perbaikan pola hidup sehat.
 Arah kebijakan: (a) mendukung akses edukasi dan pelayanan yang seluas-luasnya pada masyarakat dalam melaksanakan pola hidup sehat; (b) meningkatkan komitmen dan peran serta pemangku kepentingan dalam mendukung program pola hidup sehat; (c) meningkatkan fungsi dan kapasitas Sektor-sektor terkait dalam pengembangan pola hidup sehat baik di Pusat maupun di daerah; (d) melibatkan secara optimal peran serta media dalam upaya sosialisasi program dan kebijakan program pola hidup sehat; (e) memastikan adanya keterlibatan semua lapisan masyarakat secara aktif baik dalam program maupun kebijakan pelaksanaan program pola hidup sehat; (f) meningkatkan kapasitas dalam administrasi data dan informasi sehingga terbentuk data yang akurat; (g) mengembangkan program Usaha Kesehatan Sekolah (UKS); (h) mengembangkan program pendidikan kecakapan hidup (Life Skills Education).

·         Strategi khusus Penurunan tingkat kelaparan & kemiskinan
1. Peningkatan Kesempatan (creating opportunities), melalui pengembangkan bisnis dan kesempatan kerja
2. Pemberdayaan Masyarakat (Community Empowerment) melalui pemberdayakan sehingga mampu akses terhadap sumberdaya ekonomi, sosial dan hak-hak politik dan keterlibatan
3. Peningkatan Kapasitas & pembangunan sumberdaya manusia (Capacity Building and Human Resource Development), melalui peningkatan kemampuan yang berkaitan dengan sasaran peningkatan pelayanan pendidikan, kesehatan, pangan, perumahan agar masyarakat makin produktif
4. Perlindungan Sosial (Social Protection): Perlindungan sosial yang berkaitan dengan sasaran pemberian jaminan kehidupan bagimasyarakat yang mengalami kecacatan, fakir miskin, keterisolasian, konflik sosial, kehilangan pekerjaan sehingga berpotensi menjadi miskin
5. Prioritas pada daerah rawan pangan

·         Strategi khusus Pemantapan ketersedian pangan
1. Perwilayahan komoditas pangan sesuai dengan potensi
2. Pemantapan Infrastruktur produksi
3. Pengembangan Teknologi spesifik lokasi
4. Penyediaan modal dan sarana produksi
5. Pengendalian kelestarian sumberdaya lahan dan air
6. Pemantapan Kelembagaan petani

·         Strategi khusus Pemantapan Diversifikasi konsumsi pangan
1. Penyediaan suplai pangan dengan mengembangkan sumberdaya lokal (unggulan wilayah)
2. Pengembangan agroindustri pangan dengan kemasan “modern”
3. Peningkatan KAP (Knowledge, Attitude, Practice ) melalui gerakan tentang konsumsi pangan yang beragam dan gizi seimbang serta aman
4. Peningkatan income
5. Pemberdayaan kelembagaan lokal
6. Gerakan diversifikasi pangan

·         Strategi khusus Pemantapan Distribusi pangan
1. Penetapan harga pembelian pemerintah
2. Intervensi pemerintah terhadap pasar
3. Penguatan posisi tawar petani
4. Pengembangan sarana dan prasarana pasca panen dan infra struktur distribusi
5. Kemitraan petani

2.     KEBIJAKAN PANGAN DAN PEMBANGUNAN PERTANNIAN DI INDONESIA PADA MASA KEMERDEKAAN ( ORBA / ORLA )
Kebijakan pangan di Indonesia pada masa Kemerdekaan         
Setelah satu abad, teori Malthus akhirnya terbantahkan. Malthus memprediksi akan terjadinya kelaparan karena tidak seimbangnya kemampuan lahan untuk pangan dengan pertambahan penduduk. Karena pesatnya ilmu pengetahuan, kemudian terjadilah revolusi hijau (green revolution). Revolusi hijau dimulai dengan penemuan persilangan jenis gandum yang responsif terhadap pupuk yang kemudian disilangkan dengan varietas asal Jepang, dihasilkanlah tanaman pangan yang dapat dimanfaatkan secara lebih efisien.
Selanjutnya pada awal 60-an, IRRI (International Rice Research Institute) sebagai lembaga riset dan penelitian beras mengembangkan rekayasa genetika dengan mengembangkan "padi ajaib", di mana ditemukan padi dengan umur pendek dan jumlah produksi relatif besar. Inilah tonggak revolusi hijau di tahun 60-70-an. Dengan penemuan semacam ini, prediksi bencana kelaparan dapat diminimalisasi.
Di era Orde Baru, pada saat pemerintah bercita-cita mewujudkan swasembada pangan, pengembangan rekayasa genetika sungguh sangat membantu untuk mewujudkannya.
Pada masa penjajahan Belanda dulu, bidang pertanian banyak dikembangkan untuk kepentingan pemerintah penjajah dengan menerapkan metode tanam paksa. Banyak hasil pertanian yang favorit dan legendaris di pasaran internasional, seperti rempah-rempah, tembakau, kopi, tebu, dan lain-lain. Di masa penjajahan Jepang, dengan metode kerja rodi, Jepang memaksa para petani menanam berbagai hasil pertanian untuk kepentingan mereka, seperti beras, jagung, dan pohon jarak sebagai bahan bakar.
Di awal kemerdekaan, pembangunan pertanian dipengaruhi semangat nasionalisme dan untuk mencukupi seluruh kebutuhan rakyat, terutama kebutuhan pokok, seperti beras, jagung, kedelai, ketela, kacang tanah, dan kebutuhan akan ikan serta daging. Masih di era ekonomi Soekarno tahun 60-an, pendekatan perencanaan pembangunan mulai dicanangkan seperti intensifikasi, ekstensifikasi untuk mendukung memenuhi kebutuhan pangan nasional. Walaupun dalam jangka pendek pemerintah tidak dapat memenuhi kebutuhan pangan secara penuh, bahkan terjadi lonjakan inflasi yang cukup tinggi.
Pembangunan Pertanian pada masa Kemerdekaan
Pada awalnya pertanan masih bersifat primitif, dengan hanya memanafaatkan kondisi alam saja. Sebenarnya pertanian di Indonesi sudah mengenal padi sebagai varietas utama yang di tanam untuk memenuhi kebutuhan pangan. Budidaya padi di lahan yang basah pun sudah di lakukan sejak dulu di daerah Jawa dan Bali. Sedagakan metode pertanian di lahan yang kering sudah di lakukan di daerah Sumatra, Kalimantan, dan Sulawasi. Tetapi dengan seiring berkembangnya zaman, pertanian di Indonesia suah semakin modern. Seperti yang bisa kita lihat sekarang, jika zaman dahulu para petani hanya menggunakan sapi untuk membajak sawah. Tetapi jika dilihat sekarang, para petani sudah menggunakan alat traktor untuk membajak sawah. Jika dibandingkan dengan dulu, dari cara membajaknya saja sudah bisa dilihat perkembangannya. Selain dapat mempercepat pekerjaan, hal ini tentu akan membuat para petani menjadi ringan dalam melakukkan pekerjaannya.
Pertanian pada Masa Kemerdekaan
Setelah Proklamasi Kemerdekaan, pemerintah Indonesia langsung berkonsentrasi untuk membangun sektor pertanian di segala bidang. Departemen yang mengurusi bidang perikanan laut itu pun sudah ada sejak kabinet pertama dibentuk. Melalui Kementrian Kemakmuran Rakyat yang dipimpin oleh Menteri Mr. Sjafruddin Prawiranegara dibentuklah Jawatan Perikanan yang mengurusi kegiatan-kegiatan perikanan darat dan laut. Program swasembada beras sesungguhnya pula sudah dicanangkan di era Soekarno, tepatnya selama periode 1952-1956.
Mengenai diversifikasi tanaman pangan itu pun sudah dipikirkan di era Soekarno. Program swasembada beras paska 1956 tetap dilanjutkan melalui program sentra padi yang diatur oleh Yayasan Badan Pembelian Padi (YBPP). Pada 1963, Soekarno memasukkan jagung sebagai bahan pangan pengganti selain beras, dan pada 1964 menerapkan Panca Usaha Tani. Hal ini menyesuaikan dengan kultur bercocok tanam dari petani yang biasanya memvariasikan antara tanaman padi dan jagung. Institusi pendukung di bidang pertanian maupun sub-sub sektor pertanian lebih banyak ditopang oleh kelembagaan inti yang dulunya pernah digunakan oleh pemerintahan Hindia Belanda. Bedanya, orientasi pemerintahan republik bertujuan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, lalu orientasi untuk ekspor.

Tidak seperti sekarang yang sudah memiliki sumber daya manusia dan infrastruktur yang lebih baik, pembangunan di sektor pertanian di era Soekarno menemui jauh lebih banyak kesulitan dan tantangannya di dalam negeri. Tingkat ketergantungan terhadap jenis tanaman beras masih tergolong tinggi. Sekalipun demikian, Indonesia di masa itu belum pernah tercatat mengalami krisis pangan yang menyebabkan kasus kelaparan seperti yang pernah dialami oleh India dan China. Dalam beberapa periode, harga kebutuhan pokok sempat mengalami lonjakan harga yang cukup tinggi. Tetapi lonjakan harga tersebut tidak banyak berimbas di wilayah pedesaan yang relatif masih menerapkan pola diversifikasi bahan makanan. Pola kebijakan pertanian di masa Soekarno memang lebih menitikberatkan pada jenis tanaman lokal sebagai komoditi utama. Misalnya seperti jenis sagu di Maluku dan Papu atau nasi jagung di Sulawesi.
Untuk pertama kalinya, pemerintahan republik membentuk badan penyangga pangan yang disebut Badan Urusan Logistik atau Bulog pada tanggal 14 Mei 1967. Tugas pokok dari Bulog adalah berfungsi sebagai agen pembeli beras tunggal. Berdirinya Bulog sejak awal diproyeksikan untuk menjaga ketahanan pangan Indonesia melalui dua mekanisme yakni stabilisasi harga beras dan pengadaan bulanan untuk PNS dan militer. Pada prinsipnya, Bulog nantinya akan menjadi lumbung nasional yang tugas utamanya untuk menjaga pasokan (supply) komoditi pangan dan menjaga stabilitas harga tanaman pangan utama.

Pertanian pada Masa Orde Baru
Setelah masuk ke era Orde Baru, pembangunan di sektor pertanian tetap menjadi prioritas program kerja kabinet. Selama dua periode PELITA (Pembangunan Lima Tahun) dari tahun 1969-1979, kebijakan pembangunan lebih banyak dikonsentrasikan untuk memperkuat basis sektor pertanian. Program revolusi hijau (green revolution) guna mendukung percepatan pencapaian swasembada beras pada tahun 1974. Pada tahun 1971, Bulog mendapatkan tugas/peran baru, yaitu mempunyai tugas sebagai pengimpor gula dan gandum. Biaya besar untuk mendukung program pertanian tersebut ditopang oleh ekspor migas yang mencapai puncak harga tertinggi pada pada pertengahan dekade 1970an.
Soeharto punya ambisi yang kuat untuk mempercepat swasembada beras yang belum pernah dicapai sejak masa kemerdekaan. Salah satunya adalah dengan mengadopsi program revolusi hijau sejak tahun 1974. Sayangnya, program yang berbiaya mahal tersebut ternyata hanya menghasilkan swasembada beras pada tahun 1984, 1985, dan 1986 (berdasarkan laporan statistik pertanian dari BPS). Sesudahnya, Indonesia kembali menjadi pengimpor beras, bahkan menjadi pengimpor beras terbesar di Asia Tenggara. Program revolusi hijau ini pun hanya menguntungkan petani kaya atau pemilik lahan dengan luas lahan lebih dari 1 hektar.
Setelah beras, pemerintah berusaha untuk menutupi kekurangan pasokan dalam negeri dan impor dengan mendatangkan (impor) gandum. Bila semula diberikan kewenangan ke Bulog, maka kewenangan untuk mengimpor gandum itu pun akhirnya diserahkan ke Bogasari (swasta). Awalnya, pemerintah mencoba untuk membudidayakan jenis tanaman gandum, tetapi upaya ini sulit terwujud, karena tanaman gandum memang kurang cocok untuk jenis tanah pertanian di Indonesia.
Dalam rangka untuk mendukung program pertanian pangan, pemerintah di era Orde Baru membuat cukup banyak pembangunan infrastruktur pendukung. Misalnya seperti pembangunan irigasi, pendirian pabrik pembuatan pupuk urea, dan pembangunan pusat-pusat penelitian tanaman pangan. Sayangnya, keseluruhan saran dan prasarana pendukungnya masih difokuskan pada jenis tanaman beras. Tanaman beras disosialisasikan di seluruh wilayah yang dianggap cocok untuk ditanami jenis tanaman padi seperti di Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, Maluku, Ternate, NTT, NTB, bahkan sampai ke Papua. Program transmigrasi pun digerakkan seluas-luasnya untuk mendukung perluasan lahan tanaman padi di luar Pulau Jawa. Tujuannya tidak lain untuk mendorong peningkatan produksi beras di dalam negeri.

3.ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN TANAMAN NON PANGAN PADA BERBAGAI ERA PEMBANGUNAN
Persoalan kepemimpinan senantiasa menarik untuk dibahas karena berhubungan dengan perannya sebagai pemimpin dalam membawa perubahan pada masyarakat yang dipimpin.    Peran kepemimpinan selalu memberikan daya tarik yang kuat pada setiap orang.    Literatur tentang kepemimpinan senantiasa memberikan penjelasan bagaimana menjadi pemimpin yang baik, sikap dan gaya yang sesuai dengan situasi kepemimpinan, dan syarat-syarat pemimpin yang baik.  
Peran kepemimpinan hanya dapat dilihat dari keberpihakan kebijakan terhadap apa yang diyakini sebagai kebenaran dan dapat membawa kemaslahatan terhadap yang dipimpin.   Pemimpin saat ini selayaknya tidak hanya mampu dalam menentukan kebijakan untuk mengantisipasi berbagai perubahan global lalu tunduk kepada arus trend globalisasi, tetapi justru harus mampu proaktif, mengukir sejarah masa depan dan mendesain wujud globalisasi serta percaturan ekonomi dunia.  
pangan, maka Pemimpin memiliki legitimasi penuh guna mewujudkan tatanan kehidupan masyarakat, khususnya bidang ketahanan pangan.   Peran Pemimpin harus mampu menyediakan ruang kreatif bagi peningkatan ketahanan pangan nasional melalui kebijakan jangka pendek, menengah dan jangka panjang (Dale Timpe 1993 : 109). 
Pemimpin bukanlah manajer sehingga unsur pertama dari kepemimpinan adalah memanfaatkan kekuasaan dalam melakukan perubahan yang transformatif.   Pemimpin dapat berperan dengan baik dalam membuat kebijakan strategis terhadap terwujudnya ketahanan pangan nasional apabila memiliki pandang yang luas tentang pentingnya pembangunan ketahanan pangan bagi keberlanjutan kehidupan bangsa.   
Pandangan tersebut harus dapat dikomunikasikan sehingga dapat meyakinkan tentang keadaan yang dinginkan dan memerlukan kegigihan, konsistensi dan fokus pada persoalan kebutuhan pangan masyarakat yang sampai saat ini ditangani dengan cara membeli bukan dengan memproduksi walaupun segalanya ada dinegara yang subur akan SKA.
Peran yang konsisten dari seorang pemimpin yang fokus dan gigih dalam pembangunan pada sektor pangan juga harus mampu menyerap tenaga kerja guna mengatasi pengangguran dan persoalan urbanisasi, sehingga dapat menyejahterakan masyarakat.   Pemimpin harus memiliki peran strategis sebagai pengambil kebijakan dalam bentuk regulasi, penyiapan infrastruktur pertanian, memiliki akses kepada jaminan perbankan sampai kepada penyiapan lahan, bibit unggul dan penggunaan teknologi pertanian modern, sehingga dapat memainkan peran yang lebih signifikan terhadap kemajuan dan kedaulatan pangan nasional
Peran kepemimpinan dengan pola baru memerlukan pemahaman suatu pendekatan tiga dimensi dalam mewujudkan ketahanan pangan nasional, yaitu (1) Seorang pemimpin harus memiliki wawasan sebagai langkah awal dalam peran kepemimpinan yang menyeimbangkan perencanaan strategis dengan pelaksanaan yang sejalan dengan tujuan yang ingin dicapai; (2) Penyelarasan merupakan langkah kedua dalam peran kepemimpinan dengan mewujudkan kebersamaan dalam tindakan melalui keterikatan dalam sistem (perangkat unsur yang teratur dan saling berkaitan sehingga membentuk totalitas), struktur dan proses dalam pembangunan sistem ketahanan pangan yang tanggu; (3) Pemberdayaan sebagai hal penting dan strategis dalam peran kepemimpinan untuk mempersatukan wujud kepentingan yang seimbang antara individu, kelompok dan organisasi sebagai daya untuk memotivasi perubahan sikap melalui pemberdayaan bakat, kecerdikan emosional dan membangkitkan pikiran kreativitas.
a.       Kebijakan Strategis Bidang Pangan.
Sebagai  negara yang memiliki posisi strategis dari sisi geografis, geopolitis dan geoekonomi, Indonesia memiliki peluang dalam meningkatkan ketahanan pangan nasional dan memperkuat kedaulatan bangsa.    Posisi indonesia yang dipengaruhi iklim tropis dapat membantu setiap pemimpin dalam menetapkan kebijakan yang berdampak kepada peningkatan ketahanan pangan nasional.
b.       Mewujudkan Ketahanan Pangan.
Sebagai negara yang memiliki SKA berlimpah serta komoditas pangan yang beraneka ragam semestinya Indonesia memiliki keunggulan dalam bidang pertanian.   Namun sampai saat ini kebutuhan pangan Indonesia masih dicukupi dengan impor dari Vietnam dan Thailand atau Australia dan New Zealand.   Indonesia pernah berhasil mencapai swasembada beras pada tahun 1984.  
Keberhasilan produksi ini merupakan suatu alasan utama Indonesia cukup berhasil dalam menjaga ketahanan pangan pada saat itu, sehingga tidak terjadi insiden kelaparan skala besar.   Peningkatan produksi dalam negeri telah berhasil mengurangi ketergantungan terhadap impor beras untuk meningkatkan kemandirian dan mengurangi pengadaan beras akibat gejolak pasar dan politik luar negeri.   
Persoalan mendasar yang dihadapi dalam pembangunan ketahanan pangan terfokus pada dua hal pokok.   Pertama, adanya pertumbuhan permintaan pangan yang lebih cepat daripada pertumbuhan produksi pangan domestik.   Kedua, besarnya proporsi kelompok masyarakat yang hidup dibawah garis kemiskinan.    Arah pembangunan ketahanan pangan yaitu : (1) mewujudkan kemandirian pangan guna menjamin ketersediaan pangan ditingkat nasional, daerah hingga rumah tangga yang cukup, aman, bermutu, dan bergizi seimbang; dan (2) perwujudan ketahanan pangan merupakan tanggung jawab bersama pemerintah dan masyarakat, termasuk swasta.  Pembangunan ketahanan pangan bertujuan untuk memperkuat ketahanan pangan di tingkat mikro (rumah tangga serta individu) yang bermakna stragegis  dan ditingkat makro (nasional).
Terdapat banyak kebijakan-kebijakan lain dalam meminjam dana dari pihak luar negeri dalam menentukan kebijakan-kebijakan yang diambil guna membangun pembangunan daerah dan nasional.
Perlu kita perhatikan, dalam meminjam dana dari pihak luar negeri diperlukan kebijakan yang harus diambil agar Negara dapat menefisiensi kan dana yang di pinjam dengan dana yang harus dikeluarkan, agar hutang luar negeri nantinya tidak memberatkan Negara.
Jadi, dilihat secara garis besar dalam melakukan kebijakan-kebijakan pembangunan Indonesia baik kebijakan pembangunan nasional maupun kebijkan pembangunan daerah kaitannya erat sekali dengan kebijakan hutang luar negeri.dan aman.tang Ketahanan Pangan Bab I  Pasal 13.
4. Perubahan Struktur Ekonomi Indonesia
Teori perubahan sturktur ekonomi bertujuan pada mekanisme transformasi yang dialami oleh negara-negara berkembang yang menitikberatkan pada sektor tradisional menuju ke sektor modern.
Cheneri meminjam istilah Kuznets, mengatakan bahwa perubahan sturktur ekonomi, secara umum disebut sebagai transformasi struktur yang diartikan sebagai suatu rangkaian perubahan yang saling terkait satu sama lain dalam komposisi agregat demand (AD), ekspor-impor (X - M)Agregat supplay (AS) yang merupakan dalam penggunaan faktor-faktor produksi seperti tenaga kerja dan  modal guna mendukung proses pembangunan dan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Ada dua teori utama yang umum digunakan dalam menganalisis perubahan sturktur ekonomi, yakni dari Arthur Lewis tentang migrasi dan Hollis Chenery tentang teori transportasi struktural. Teori Lewis pada dasarnya membahas tentang proses pembangunan ekonomi yang terjadi di daerah pedesaan dan di daerah perkotaan. Didalamnya Lewis memberitahukan bahwa perekonomian suatu negara pada dasarnya terbagi atas dua, yaitu perekonomian tradisional di pedesaan yang didominasi sektor pertanian dan perekonomian modern di perkotaan yang di dominasi oleh sektor industri.
`     Struktur Perekonomian Indonesia

Menurut Dumairy struktur perekonomian suatu negara dapat dilihat dari berbagai sudut tinjauannya. Struktur perekonomian dapat dilihat dari empat sudut tinjauan, yaitu tinjauan makro-sektoral, tinjauan keuangan, tinjauan penyelenggaraan kenegaraan, dan tinjauan birokrasi pengambilan keputusan.
Tinjauan makro-sektoral dan keuangan merupakan tinjauan ekonomi murni sedangkan tinjauan kenegaraan dan tinjauan birokrasi pengambilan keputusan adalah tinjauan di bidang politik. Berikut penjelasannya:

A.       Struktur Ekonomi Dari Tinjauan Makro-Sektoral
Berdasarkan tinjauan makro-sektoral perekonomian suatu negara dapat berstruktur agraris, industri, atau niaga. Hal ini tergantung pada sektor apa/mana yang dapat menjadi tulang punggung perekonomian negara yang bersangkutan. Dilihat secara makro sektoral dalam bentuk produk domestik bruto maka struktur perekonomian Indonesia pada tahun 1990-an masih menggunakan sektor agraris, namun sekarang sudah menjadi sektor industri.
Struktur perekonomian Indonesia yang industrialisasi pada saat ini sesungguhnya belum mutlak, tetapi masih sangat dini. Industrialisasi di Indonesia barulah berdasarkan kontribusi sektoral dalam membentuk PDB atau pendapatan nasional. Industrialisasi yang ada belum didukung dengan kontribusi sektoral dalam penerapan tenaga dan angkatan kerja. Apabila kontribusi sektoral dalam menyumbangkan pendapat dalam penerapan tenaga kerja diperbandingkan, maka struktur ekonomi Indonesia ternyata masih dualisme.
Boeke seorang ilmuan asal Belanda mengatakan bahwa perekonomian Indonesia berstruktur dualistis. Sebab dari segi penyerapan tenaga kerja dan sumber kehidupan rakyat (53,69%), sedangkan sektor industri pengolahan hanya menyerap 10,51% tenaga kerja.

B.     Struktur Ekonomi Dari Tinjauan Keruangan
Pergeseran struktur ekonomi secara makro-sektoral hampir sama dengan pergeseran keruangan. Ditinjau dari sudut pandang keruangan, struktur perekonomian di Indonesia telah bergeser dari struktur pedesaan menjadi struktur perkotaan. Hal ini dapat kita lihat dan kita rasakan sejak era Orde Baru hingga era reformasi sekarang ini. Kemajuan perekonomian di daerah perkotaan jauh lebih pesat dibandingkan dengan di daerah pedesaan. Hal ini disebabkan oleh pembangunan di daerah perkotaan lebih pesat perkembangannya, terutama di sektor industri mulai dari sarana dan prasarana transportasi dan komunikasi.

C.     Struktur Ekonomi Dari Tinjauan Penyelenggaraan Kenegaraan
Struktur ekonomi dengan tinjauan penyelenggaraan kenegaraan. Ditinjau dari sisi struktur perekonomian dapat dibedakan menjadi struktur etatis, egaliter, atau borjuis.
Struktur ekonomi Indonesia sejak awal Orde Baru hingga pertengahan dasawarsa 1980-an berstruktur etatis dimana pemerintah atau BUMN sebagai tolak ukur negara, merupakan pelaku utama perekonomian Indonesia. Mulai pertengahan dasawarsa 1990-an peran pemerintah dalam perekonomian berangsur-angsur dikurangi, yaitu sudah secara eksplisit dituangkan melalui GBHN 1988/1989 mengundang kalangan swasta untuk berperan lebih besar dalam perekonomian nasional.
Struktur ekonomi untuk sementara mengarah pada perekonomian yang berstruktur borjuis, dan belum mengarah ke struktur perekonomian yang egaliter, karena baru kalangan pemodal dan usahawan kuatlah yang dapat dengan cepat menanggapi undangan dari pemerintah tersebut. Maka akibatnya terjadi ekonomi konglomerasi dimana hanya beberapa orang pemodal kuat yang mengendalikan sektor-sektor ekonomi di Indonesia, yang dampaknya kita rasakan sekarang yaitu ambruknya perekonomian Indonesia karena tidak terkendalinya investasi-investasi yang dananya berupa pinjaman dari luar negeri.
Pada era reformasi ini struktur ekonomi Indonesia diarahkan pada strruktur ekonomi egaliter dimana seluruh penggerak roda perekonomian dilibatkan dalam membangun perekonomian Indonesia. Misalnya dengan memperkuat peran usaha-usaha koperasi, pengusaha mikro kecil dan menengah karena mereka dianggap pelaku-pelaku ekonomi yang tahan menghadapai krisis ekonomi ­­dan dianggap sebagai pelaku-pelaku ekonomi yang mampu menjadi penyangga perekonomian Indonesia.

D.     Struktur Ekonomi Dari Tinjauan Birokrasi Pengambilan Keputusan
Struktur ekonomi dapat pula dilihat berdasarkan tinjauan birokrasi pengambilan keputusan. Dilihat dari sudut tinjauannya, struktur ekonomi dapat dibedakan menjadi struktur ekonomi yang terpusat sentralisasi dan desentralisasi.
Berdasarkan tinjauan birokrasi pengambilan keputusan, dapat dikatakan bahwa struktur perekonomian Indonesia selama era pembangunan jangka panjang tahap pertama adalah sentralistis. Dalam struktur ekonomi yang sentralistis pembuatan keputusannya lebih banyak ditetapkan oleh pemerintah pusat atau kalangan atas pemerintahan. Pemerintah daerah atau kalangan pemerintahan dibawah, beserta masyarakat dan mereka yang tidak memiliki akses ke pemerintahan pusat, cenderung hanya menjadi pelaksana saja dan hanya sebagai pendengar saja.
Struktur birokrasi pengambilan keputusan yang sentralistis ini terpelihara rapih selama pemerintahan orde baru. Hal ini disebabkan oleh budaya atau kultur masyarakat Indonesia yang paternalistik. Walaupun Indonesia sudah merdeka dan menuju ke arah era globalisasi namun budaya ini masih sulit untuk ditinggalkan, dan bahkan cenderung dipertahankan.
Struktur perekonomian yang etatis dan sentralistis berkaitan erat. Pemerintah Pusat menganggap bahwa Pemerintah Daerah belum cukup mampu untuk menjalani tugas untuk melaksanakan pembangunan ekonomi. Argumentasi yang sering dijadikan legitimasi adalah karena sebagai negara sedang berkembang yang barau mulai melakukan proses pembangunan. Sehingga dalam kondisi yang demikian diperlukan peran sekaligus dukungan pemerintah sebagai agen pembangunan, sehingga menjadikannya etatis, dan sekaligus dibutuhkan pemerintahan yang kuat. Namun  demikian sejak awal pembangunan jangka panjang tahap kedua (PJP II) struktur perekonomian yang etatis dan sentralistis tersebut secara berangsur mulai berkurang.

5. Analisa Strategi Pembangunan Sektor Industri Pengembangan Impor
Permasalahan di Indonesia yang cukup mendasar mengenai perdagangan Internasional ,salah satunya adalah impor. Apabila kita melihat di negara negara  berkembang, peran industrialisasi substitusi impor dalam pembangunan ekonomi sangat  penting sehingga sektor industri sangat berperan dalam substitusi impor. Substitusi impor merupakan salah satu upaya yang tepat dalam mengganti berbagai macam kebutuhan yang sebelumnya diimpor dengan produk-produk buatan dalam negeri.
Data statistik BPS menyebutkan pada 2004 belanja impor Indonesia mencapai angka US$46,52 miliar dan semakin lama semakin meningkat. Bahkan pada 2008 saja sudah mencapai US$128,79 miliar. Dengan komposisi impor migas US$30,49 miliar dan nonmigas US$98,32 miliar. Nilai sebesar itu artinya devisa yang seharusnya dapat dihemat dan dibelanjakan di dalam negeri terpaksa dibelanjakan keluar negeri.
 Industri manufaktur berupa otomotif, tekstil, garmen, dan industri alas kaki merupakan sektor industri yang paling terancam. Industri ini merupakan sektor padat karya yang menyerap tenaga kerja dalam jumlah banyak. Dengan berlimpahnya produk China yang cenderung lebih murah, hal itu dikhawatirkan mematikan produk lokal. Biaya  produksi di Indonesia tergolong tinggi sehingga harga pasar domestik pun lebih tinggi dibandingkan harga produk China
Dalam hal impor, Kementerian Perdagangan berupaya mengelola impor yang berorientasi pada kepentingan nasional, yaitu sesuai standar kesehatan, keamanan, keselamatan, lingkungan, dan moral bangsa. Pertumbuhan impor selama periode 2004- 2008, khususnya nonmigas,meningkat rata-rata 26,5 persen per tahun. Impor nonmigas sebagianbesar merupakan impor bahan baku atau penolong dan barang modal untuk memenuhi kebutuhan investasi dan produksi di dalam negeri, termasuk yang berorientasi ekspor. Pengelolaan impor juga diarahkan untuk menciptakan iklim persaingan yang sehat dan transparan di dalam negeri, sehingga tidak terjadi perdagangan yang t idak adil dan memast ikan impor yang masuk melalui perjanjian perdagangan bebas (FTA) memenuhi syarat. Negara yang menj adi sumber impor nonmigas terbesar Indonesia adalah RRT, Jepang, dan Singapura. Ketiga negara tersebut memberikan kontribusi sebesar 41,5 persen dari total impor nonmigas Indonesia tahun 2008.

Berikut analisa strategi pembangunan sektor industri pengembangan impor menurut beberapa ahli :
1.      Teori Kebijakan Strategi Negara Berkembang
Masalah kebijakan perdagangan sangat berpengaruh dalam pembangunan ekonomi di negara-negara berkembang. Untuk itu teori-teori mengenai impor untuk  pembangunan diperlukan kebijakan khusus dalam konteks strategi negara berkembang ada yang berorientasi ke luar dan ke dalam. Kebijakan pembangunan berorientasi ke luar ( outward-looking development policies) adalah suatu rangkaian kebijakan yang tidak hanya mendorong berlangsungnya  perdagangan bebas tetapi juga memungkinkan pergerakan secara bebas atas faktor-faktor  produksi (modal,tenaga kerja), perusahaan-perusahaan dan para pelajar,perusahaan multinasional,dan suatu sistem komunikasi yang terbuka.

Kebijakan pembangunan berorientasi ke dalam (inward- looking development policies) adalah suatu kebijakan yang lebih menekankan pada usaha-usaha negara berkembang untuk menciptakan suatu pendekatan pembangunan mandiri yang benar-benar sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi pembangunannya agar mereka lebih mampu mengendalikan ataupun menentukan nasib mereka sendiri

2.     Strategi Pengembangan Sektor Industri
Hasibuan (1986)mengemukakan bahwa untuk mengurangi ketergantungan  pembangunan industri di negara berkembang terhadap negara maju dapat ditempuh strategi industri pengganti impor yang disertai dengan politik proteksi. Ditempuhnya strategi  pengganti impor tersebut berdasarkan pertimbangan bahwa :
1. sumber-sumber ekonomi relatif tersedia di dalam negeri
2. respon permintaan barang-barang industri dari negara maju masih rendah
3. mengurangi akibat-akibat ketidakstabilan pasar internasional terhadap pasar di dalam negeri 4. mendorong industri di dalam negeri supaya lebih berkembang,
5. adanya potensi permintaan di dalam negeri yang memadai
6. membuka kesempatan kerja, meningakatkan nilai tambah dan menghemat devisa.
7. mempercepat proses pengalihan teknologi,
8. oleh karena strategi tersebut akan diikuti dengan proteksi yang tinggi, sedangkan potensi permintaan dalam negeri cukup luas, maka lebih menarik investasi dari dalam dan luar negeri.

3.     Selain itu menurut Zain (1986)
Dalam Sahara (1999) strategi yang perlu dilakukan untuk pengembangan industri dimasa yang akan datang adalah :
1.Keunggulan komparatif, yaitu dilihat dari sumber daya alam yang tersedia di Indonesia
2.Keterkaitan antar sektor terutama sektor hulu hilir. Efek selanjutnya adalah terciptanya penghematan devisa, meningkatkan pendapatan, keahlian dan kesempatan kerja.
3.Teknologi yang tinggi dan selalu berkembang untk pembangunan industri hulu secara simultan.
Faktor untuk industri hulu harus merupakan pertimbangan yang dominan karena apabila industri hulu menggunakan teknologi yang tinggi dan efisien maka industri hilirnya tidak akan mengalami biaya yang tinggi dan ini sesuai dengan sasaran untuk mengembangkan industri yang kompetitif untuk ekspor

4.      SubtitusiImpor(inward-looking)
a.Strategi industrialisasi
1.Strategi Subtitusi Impor
 - Lebih menekankan pada pengembangan industry yang berorientasi pada pasar       domestic
  -Strategi subtitusi impor adalah industry domestic yang membuat barang menggantikan impor
  - Dilandasi oleh pemikiran bahwa laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi dapat dicapai dengan mengembangkan industry dalam negeri yang memproduksi barang pengganti impor

Pertimbangan yang lajim digunakan dalam memilih strategi ini adalah:
a. SDA dan factor produksi lain (terutama tenaga kerja) cukup tersedia
b. Potensi permintaan dalam negeri memadai
c.  Pendorong perkembangan sector industry manufaktur dalam negeri
d. Dengan perkembangan industry dalam negeri, kesempatan kerja lebih luas
e. Dapat mengurangi ketergantungan impor
5.  Kebijakan industrialisasi
o Dirombaknya system devisa sehingga transaksi luar negeri lebih bebas dan sederhana
o Dikuranginya fasilitas khusus yang hanya disediakan bagi perusahaan Negara dan kebijakan pemerintah untuk mendorong pertumbuhan sector swasta bersama-sama dengan BUMN
o Diberlakukannya Undang-undang PMA

6.ANALISA STRATEGI PEMBANGUNAN SEKTOR INDUSTRI PENGGANTI EKSPOR

Yakni strategi yang memfokuskan pada pengembangan industri nasional lebih berorientasi ke pasar internasional dalam usaha pengembangan industri. Ekspor komoditi primer secara langsung berangsur – angsur diganti dengan ekpor komoditi yang sudah diolah di dalam negeri. Strategi pendorong ekspor dilandasi oleh pemikiran bahwa laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi hanya bisa direalisasikan jika produk – produk yang dibuat didalam negeri dijual disuatu pasar

Rekomendasi agar strategi ini dapat berhasil :
1.      Nilai tukar harus realistis
2.      Adanya insentif untuk peningkatkan ekspor
3.      Tingkat proteksi impornya harus rendah
Menurut Anne Krueger (1978). Wakil presiden bank dunia, ada 4 faktor yang dapat menerangkan mengapa strategi industrialisasi promosi ekspor dapat mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih pesat ketimbang strategi substitusi impor, ke empat faktor tersebut adalah:
1. Kaitan sektor pertanian dengan sektor industri
Pertumbuhan sektor pertanian yang pesat  penting sekali bagi pertumbuhan ekonomi pada umumnya, namun pengalaman dari korea selatan (yang sejak tahun 1961 telah menempuh strategi promosi ekspor) telah menunjukkan bahwa dengan strategi promosi ekspor, kaitan antara keberhasilan sektor pertanian dan keberhasilan sektor industri tidak begitu erat seperti di bawah strategi substitusi impor. Hal ini disebabkan karena di NSB telah menempuh strategi promosi ekspor ternyata telah berhasil cukup cadangan devisa untuk mengimpor pangan (jika perlu) dari pada negara-negara yang telah menempuh strategi substitusi impor.karena strategi substitusi impor ternyata justru mempunyai kepadatan impor yang tinggi. Dengan demikian biaya oportunitas impor pangan tinggi sekali, karena devisa yang langka ini tidak dapat digunakan untuk impor yang lainnya yang penting, misalnya barang-barang modal untuk pembangunan.



2. Skala ekonomis
Bagi industri-industri dimana faktor skala ekonomi (economices of scale) adalah penting,maka strategi promosi ekspor akan dapat memberikan dorongan yang kuat kepada perusahaan-perusahaan baru dari pada dibawah substitusi impor.
Karena perusahaan-perusahaan ini dapat menyusun rencana investasi. Produksi dan pemasaran mereka atas dasar potensi pasar domestik dan pasar ekspor. Dengan strategi promosi ekspor sejak semula dapat dibangun pabrik dengan skala ekonomi yang efisien, oleh karena dalam membangun pabrik-pabrik tersebut para industrialis sudah merencanakan untuk memasarkan sebagian dari produksi mereka dari pasar dunia.

3. Persaingan
Suatu segi positif yang penting dari strategi promosi ekspor adalah bahwa persaingan dipasar ekspor mengaharuskan para industralis untuk menjajagi berbagai cara untuk menekan biayaproduksi mereka sampai ketingskt yang serendah-rendahnya sehingga hasil-hasil produksinya mereka bisa bersaing dalam hal harga (price competitive) dipasar ekspor, maka persaingan ketat dipasar ekpor juga akan mengahruskan para industriawan untuk mengadakan pengendalian mutu (quality control) yang ketat pula, mengadakan modifikasi dalam desain barang-brang sesuai dengan perubahan selera masyarakat dalam kemajuan teknologi baru, an memastikan pengadaan barang-barng sesuai dengan jadwal engadaan yang telah ditetapkan.

4. Kekurangan Devisa
Pengalaman NSB,termasuk Indonesia, telah menunjukkan bahwa kekurangan devisa telah menghambat pertumbuhan ekonomi yang pesat, pada tingkat makro ekonomi, skala investasi nsioanal perlu dikurangi, jika diperkirakan bahwa ditahun-tahun mandatang akan dihadapi masalah kekurangan devisa. Pada tingakt micro ekonomi, berbagai proyek pembangunan mungkin perlu dijadwalkan kembali(seperti yang dilakukan indonesia pada tahun 1983 sebagai akibat dari defisit tarnsaksi berjalan telah dialami sejak tahun 1982 dengan berakhirnya rizki minyak dan demikian juga pada tahun 1991 sebagai akibat dari adanya boomimg investasi pasca derugulasi perbankan) atau terpaksa dihentikan jika impor bahan-bahan baku, barang-barang setengah jadi, dan barang-barang modal tidak dapat dilanjutkanakibat kekurangan devisa.
Meskipun NSB telah menempuh strategi promosi ekspor tentu tidak bebas dari masalah tekanan pada neraca pembayaran dan kekurangan devisa, namun strategi yang bertujuan untuk memperoleh devisa sebanyak mungkin melalui ekspor barang-barang jadi (manutactured exports) akan lebih berhasil dalam memupuk cadangan devisa yang memadai dari pada strategi substitusi impor yang ternyata sering memperbesar kekurangan devisa pertalian dengan kepadatan impor yang tinggi dari berbagai industri substitusi impor.


7. Analisis Perangkat Teknologi dan dampak Industri terhadap Pegangguran

Pada perkembangan zaman sekarang ini manusia mampu menciptakan berbagai macam teknologi baru yang mampu digunakan untuk membantu berbagai pekerjaan manusia dalam berbagai bidang, baik pertanian, pertambangan, transportasi dan industri. Tujuan utama diciptakannya teknologi oleh manusia ini sebenarnya adalah untuk memudahkan manusia itu sendiri dalam hal pemenuhan kebutuhan ekonominya. Dalam bidang pertanian misalnya setelah ditemukannya berbagi teknologi pertanian yang berupa bibit unggul hasil persilangan, pupuk kimia, pertisida untuk menangani berbagai macam hama dan penyakit, serta insektisida yang berguna mengurangi hama berupa serangga diharapkan mampu meningkatkan produksi bahan makanan, sehingga petumbuhan penduduk yang terjadi semakin pesat hingga saat ini akan tetap dapat didimbangi dengan peningkatan produksi bahan makanan, bahkan dalam pertanian diharapkan mampu mengalami surplus bahan makanan. Sedangkan dalam bidang indutri, dengan adanya teknologi yang berupa mesin-mesin produksi mekanik maka manusia akan dengan mudah memproduksi barang dan mampu membentuk suatu sistem ekonomi yang baru yang kebih meyakinkan dan akan mampu menyerap angkatan kerja baru apabila dibandigkan dengan pertanian.
Namun, dengan kemunculan teknologi-teknologi baru ini yang semula diharapkan mampu memperluas kesempatan kerja bagi masyarakat, dan mampu menyerap banyak yenaga kerja dari masyarakat. Justru yang terjadi adalah walaupun manusia mampu menciptakan teknologi dan semakin lama berkembang dalam berbagai bidang dengan semakin pesat, tetap saja tidak mampu menyerap pertambahan populasi manusia yang tentunya semakin menambah pula jumlah tenaga kerja. Dalam bidang pertanian misalnya, dengan ditemukannya teknologi mesin pengolahan tanah yang berupa traktor maka mengakibatkan para pekerja pertanian atau buruh tani yang tadinya mengolah sawah dengan cara mencangkul menjadi tergantikan peranya dan tidak mempunyai pekerjaan lagi. Sedangkan pada sektor industri misalnya dengan adanya mesin-mesin produksi yang semakin lam berkembang menjadi semakin pesat, maka peran manusia yang tadinya sangat dibutuhkan dalm proses produksi menjadi tidak lagi bagitu penting dan sangat kecil . Dengan kata lain peran manusia dalam kegiatan produlsi barang menjadi tergantikan dengan mesin-mesin produksi. Dengan demikian maka sebuah pabrik tidak lagi membutuhkan tenaga kerja yang banyak dalam proses produksinya dan tidak mampu menyerap angkatan kerja yang ada.
Dibawah sistem mekanisme mesin, ritme hidup manusia tidak lagi ditentukan oleh alam tapi dibawah komando mesin. Orang tidak seenaknya lagi kerja tapi semuanya diatur oleh mekanisme produksi(Save M Dagun, 1992, 8)
Seperti yang telah diuraikan diatas, bahwa sebenarnya sebagai konsekuensi utama dengan adanya pertambahan penduduk ini adalah munculnya tenaga kerja yang dengan jumlah semakin bertambah besar dari waktu ke waktu, yang sebebarnya semua itu dipengaruhi oleh tingkat kelahiran (fertilitas) dan tingkat kematian (mortalitas). Apabila dalam sebuah Negara tingkat kelahirannya sangat cepat dan tingkat kematian sangat sedikit maka akan menimbulkan suatu ledakan populasi penduduk yang juga tentunya akan menambah kuantitas tenaga kerja. Sedangkan di Negara berkembang seperti Indonesia yang terjadi adalah tingkat kelahiran masih tetap pesat dan tingkat kematianpun juga masih tinggi karena minimnya penanganan  masalah kesehatan, Walaupun, tingkat kematian juga masih tinggi, bertambahnya jumlah penduduk melalui proses kelahiran di dalam Negara miskin dan berkembang masih sangat pesat dan tetap saja mengakibatkan ledakan penduduk.
Indonesia sebagai Negara yang berkembang dengan mayoritas penduduknya masih bekerja dalam sektor agraris seperti pertanian dan perkebunan yang dikelola  baik secara modern maupun tradisional tentunya akan sangat terpengaruh dengan adanya pertumbuhan penduduk yang semakin pesat ini. Bagaimana tidak karena dengan adanya pertambahan penduduk yang semakin pesat tentunya menimbulkan tumbuhnya tenaga kerja yang ingin memperoleh kesempatan kerja. Padahal sektor agraris yang ada saat ini tentunya tudak bisa menampung tenaga kerja yang ada, terutama diakibatkan karena kurangnya lahan yang semain lama semakin sempit dengan adanya pembangunan, terutama pembangunan secara fisik.
Jalan utama untuk para tenaga kerja adalah berusaha untuk memasuki dunia pekerjaan dalam sektor industri. Padahal kita tahu saat ini untuk masuk sektor industri dilakukan seleksi yang sangat ketat sehingga tidak semua orang dapat memasuki sektor industri. Pendidikan yang cukup menjadi syarat utama, padahal saat ini banyak anak muda yang putus sekolah dan bahkan masih ada yang tidak bersekolah. Ditambah lagi perluasan kesempatan kerja yang ada berjalan dengan sangat seret dan tidak mengimbangi laju pertambahan angkatan kerja ini. Dengan demikian sebagai konsekuensi akhir, yang tidak dapat dihindarkan lagi adalah munculnya pengangguran baik pengangguran terbuka maupun pengangguran yang terselubung yang tentunya akan mempengaruhi berjalannya sistem perekonomian di Indonesia.
Sebagai Negara berkembang, masalah pengangguran di Indonesia sudah masih tergolong tinggi. Pada tahun 1980 tercatat jumlah pengangguran terbuka di Indonesia sudah mencapai angka 1.70 juta jiwa, daan pada tahun 2006 jumlah pengangguran di Indonesia mencapai prosentase 12,5% (Wikipedia,com). Dan dari data BPS pada tahun 2008 di Indonesia masih tercatat penggangguran terbuka di Indonesia mencapai angka 9,39 juta jiwa.atau 8,46% dari total angkatan kerja di Indonesia. Jumah pengangguraan terbuka terbesar didomonasi oleh lulusan SMK sebesar 17,26% dari jumlah total pengangguran di Indonesia. Dan penyerapan tenaga kerja terbesar hanya terjadi pada sektor informal saja. Jumlah pengangguran tersebut terus bertambah hingga saat ini.
Jumlah pengangguran di Indonesia ini masih sangat memprihatinkan, mengingat saat ini Indonesia sebagai Negara yang masih berkembanag dan belum mencapai pada msa kemajuannya harus menghadapi munculnya perdaganagan bebas dimana setiap Negara leluasa untuk memasarkan hasil produksinya ke Negara manapun. Dengan masih banyaknya jumlah pengangguran ini maka tentunya akan mempengaruhi pula pada peningkatan perekonomian Negara, sehingga ekonomi Indonesia akan melemah dan mengakibatkan Indonesia tidak mampu bersaing dengan Negara lain dan perekonomian Indonesia akan menjadi semakin terpuruk. Karena bagaimanapun peran seorang individu dalam sebuah sistem kemasyarakatan dalam hal ini perekonomian sangat penting perannya dan mempengaruhi segakla system yang ada, dan apabila ada satu sala sistem yang tidak berjalan dalam masyarakat maka akan mempengaruhi pula sistem-sistem yang lain serta pemeliharaan system-sistem tersebut sangat diperlukan(Talcott Parsons, dalam George Ritzer).
Pengangguran di Indonesia paling banyak terjadai di pedesaan yang masih mengandalkan pertanian sebagai mata pencaharian utama penduduknya. Karena pada saat ini jumlah lahan yang ada di pedesaan untuk pertanian semakin sempit akibat dengan adanya proses pembangunan fisik yang saat ini banyak terlihat di pedesaan bahwa makin banyak sawah ataupun perkebunan yang beralih fungsi menjadi pemukiman, ditambah lagi pola pertanian masyarakat tradisional yang masih bersifat subsisten dan tradisional. Inilah yang mengakibatkan mengapa pengangguran yang paling banyak terjadi di pedesaan. Booth dan Sandrum (dalam Effendi, 1995 : 175) mengungkapkan bahwa hasil sensus penduduk tahun 1980 menunjukkan sekitar 80% angkatan kerja yang ada di Indonesia ada di pedesaan, dan hal tersebutmasih terjadi hingga saat ini.
Dengan munculnya permasalahan sosial berupa pengangguran tersebut maka pmenimbulkan berbagai permasalahan yang antara lain bagaimana pengangguran di Indonesia menjadi sangat rumit dan tergolong masih tinggi. Dengan jumlah angka pengangguran yang tinggi ini tentunya akan menimbulkan dampak bagi masyarakat Indonesia adan sisitem-sistem yang ada. Sertya bagaimanakah upaya yang tepat yang dapat dilakukan oleh pemerintah maupun pihak swasta menurut cara pandang sosiologis untuk mengatasi masalah pengangguran di Indonesia.







Daftar pustaka
http://muhamedisel.blogspot.com/2012/01/industri-dalam-pembangunan-ekonomi.html