Tugas Softskill Perekonomian Indonesia
DOSEN : IMMI FISKA
DISUSUN OLEH :
ANESWARI ENDAH A (21214183)
AZHELIA SYAFIRA (21214925)
CHINDY DEFAESTI (22214350)
METTA DEVI (26214607)
M. LUTFI . A (26214758)
RIO ASDIANGGA (29214453)
UNIVERSITAS
GUNADARMA
ATA 2014/2015
KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat rahmat dan karuniaNya yang
diberikan kepada kita semua sebagai umatnya. saya dapat menyusun makalah ini
untuk memenuhi mata kuliah Perekonomian
Indonesia yang memiliki suatu muatan soft
skill yang membuat kita menjadi diri yang mandiri.
Makalah yang disusun untuk mempelajari lebih detail mengenai
perkembangan perekonomian Indonesia baik di dalam negeri dan di Dunia, saya
berharap informasi yang saya dapatkan tidak hanya untuk saya sendiri melainkan
untuk para pembaca sebagai ilmu untuk menambah wawasan .
Dalam kesempatan ini saya mengucapkan terima kasih ,semoga makalah ini
dapat memberikan kontribusi positif dan memberikan manfaat dalam hidup kita
nantinya .Dari lubuk hati yang paling dalam, sangat disadari bahwa ,makalah
yang saya buat masih jauh dari sempurna . Oleh sebab itulah tidak ada salahnya
saya mengharapkan berbagai kritik dan saran yang membangun untuk lebih baik
kedepannya.
Bekasi , Maret 2015
Penulis
DAFTAR ISI
Bab I
Kata Pengantar ………………………………………………………………………………………… 2
Daftar Isi ……………………………………………………………………………………….. 3
Bab II
Analisa mengenai kebijakan pangan Indonesia pada
masa penjajahan……………….. 4
Analisis mengenai kebijakan pangan dan
pembangunan pertanian di Indonesia pada masa kemerdekaan Indonesia …………………………………………………………………….. 7
Analisis mengenai kebijakan pangan pembangunan
tanaman non Pangan pada berbagai era pembangunan………..……………………………………………………………………..10
Analisis mengenai strategi pembangunan sector
industri pengganti impor ………….14
Analisis mengenai strategi industry pendorong
ekspor …………………………………….. 16
Analisis mengenai peran teknologi dan dampak
industry
terhadap pengangguran ……………………………………………………………………………….18
BAB III
DAFTAR PUSTAKA
………………………………………………………………………………………..21
1. ANALISIS KEBIJAKAN PANGAN DIINDONESIA PADA MASA PENJAJAHAN
Pada saat Indonesia berada dalam jajahan bangsa Belanda, pemerintah
pada saat itu, yaitu bangsa Belanda, membentuk lembaga pangan yang terkait
dengan distribusi dan logistik beras, yang diberi nama Stichting
Het Voedingsmidlenfonds (VMF) pada akhir bulan April 1939. Pendirian VMF
tersebut merupakan cerminan pandangan pemerintah Belanda bahwa masalah beras
sangat penting dan memerlukan pengaturan khusus dari pemerintah. Pada awal
tahun 30-an, pemerintah Belanda memberikan kebebasan pasar dengan sedikit
sekali pengendalian langsung dari pemerintah, namun kebijaksanaan yang diambil
tersebut pada umumnya bertujuan untuk menjaga agar harga beras yang dibayar
konsumen cukup rendah. Hal ini mengingat Belanda telah menanam modal besar-besaran
di berbagai perkebunan di Indonesia, seperti perkebunan gula, karet, tembakau,
kopi, dan kelapa sawit. Agar mereka membayar tingkat upah yang rendah maka
perlu dijaga agar harga bahan konsumsi yang penting, yaitu beras, tetap dapat
dipertahankan pada tingkat yang rendah.
Mulai awal
1933, impor dibatasi dengan cara lisensi dan harga-harga diawasi langsung oleh
pemerintah. Pemerintah berupaya menggalakkan perdagangan beras antar pulau dan
antar propinsi dengan tujuan agar daerah-daerah defisit beras di luar Jawa
memperoleh tambahan beras dari daerah-daerah surplus seperti Jawa, Bali, dan
Sulawesi Selatan. Kebijaksanaan baru ini kemudian berkembang ke arah pengawasan
langsung perusahaan penggilingan beras, agar tidak melakukan hal-hal yang dapat
menggoyah pasar beras _isba (Mears dan Moeljono, 1990).
Saat Belanda menyerah kepada Jepang, maka VMF turut diambil alih sampai
akhir Perang Dunia II. Badan ini dikenal dengan nama Sangyobu-NannyoKohatsu
Kaisha (SKK). Lalu terjadilah pergeseran campur tangan pemerintah dengan
mengutamakan supply untuk memenuhi kebutuhan logistik bala tentara Jepang dalam
perang (Sapuan, 2000).
·
Kelemahan Paradigma Ketahanan Pangan
Indonesia Pada Masa Lalu
Kelemahan
mendasar kebijakan pangan yang lalu adalah rumusan tujuan dan implementasinya
yang diarahkan terutama untuk mencapai stabilitas politik dan ekonomi dan bukan
pada pencapaian ketahanan pangan berkelanjutan. Dalam hal ini jaminan
ketersediaan beras (pangan pokok penduduk) pada tingkat harga rendah dan stabil
adalah kondisi untuk pencapaian stabilitas ekonomi dan politik. Disamping itu
pemerintah telah mengadopsi batasan ketahanan pangan yang sangat sempit, yaitu
(Person and monke, 1991), yakni kemampuan negara untuk menghasilkan pangan yang
cukup untuk seluruh konsumen pada tingkat harga yang terjangkau. Oleh karena
itu kelangkaan pangan secara cepat tercermin pada kenaikan harga pangan,
ketahanan pangan sangat terkait dengan kemampuan pemerintah untuk menjaga
stabilitas harga pangan domestik. Beberapa kelemahan konsep ketahanan pangan
yang lalu adalah telah
diidentisipasi
oleh Simatupang (2000), yakni :
1. Konsep
ketahanan pangan didasarkan pada difinisi pada pendekatan ketersediaan pangan
dalam mencapai ketahanan pangan. Difinisi ini sangat terkait dengan stabilitas
harga pada tingkat harga yang terjangkau dengan tiga asumsi : (a) kelangkaan
pangan pangan dengan cepat tercermin dari kenaikan harga; (b) Harga yang
terjangkau untuk menjamin akses seluruh konsumen mendapatkan pangan yang cukup
; dan (c) Produksi pangan domestik yang cukup (swasembada) adalah cara efektif
bagi stabilitas harga pangan domestik (ketahanan pangan). Ketiga asumsi ini
mengarahkan pada konsep pokok bahwa swasembada adalah definisi terdekat dari
ketahanan pangan yang berkelanjutan yang dianggap sebagai asumsi yang tidak
relistik.
2. Konsep ketahananan pangan yang lalu telah
gagal dalam mengantisipasi peran pendapatan masyarakat dan mekanisme non pasar
dalam peningkatan akses terhadap pangan yang menjadi penyebab utama kegagalan
program ketahanan pangan. Program ketahanan pangan tidak mencakup elemen
peningkatan pendapatan rumah tangga, Hal ini menjadi penyebab terjadinya krisis
pangan tahun 1998, yang dianggap sebagai pengaruh dari krisis ekonomi daripada
pengaruh penurunan ketersediaan pangan. Sebenarnya tidak ada kelangkaan pasokan
pangan , namun kebanyakan rumah tangga tidak mempunyai pendapatan yang cukup
untuk membeli pangan.
3. Kegagalannya
dalam mengantisipasi pentingnya dimensi local dan rumah tangga bagi ketahanan
pangan individu. Paradigma lama lebih mementingkan ketahanan pangan secara
nasional secara luas. Namun pengalamanmenunjukkan bahwa ketahanan pangan
nasional itu penting, tetapi itu tidak cukup untuk menjamin ketahanan pangan
local dan rumah tangga. Basisketahan pangan nasional telah mengabaikan
pendekatan ketahanan pangan pada wilayah terpencil. Kegagalan ini telah
menyebabkan pada beberapa daerah telah dijumpai masyarakat yang kelaparan
sehingga menimbulkan paradok kelaparan.
4. Adanya
dilemma kebijakan, utamanya kebijakan harga yang murah dan stabil telah
menimbulkan : (a) tidak kondusif untuk produksi pangan domestik dan peningkatan
pendapatan petani, (b)membutuhkan subsidi pemerintah dan sangat mahal bagi
anggaran pemerintah, (c) strategi tersebut tidak berkelanjutan baik secara
ekonomis maupun politik, (d) strategi harga pangan murah menguntungkan
konsumen, tetapi merupakan disinsentif bagi petani produsen, (e) strategi ini
tidak fair, tidak konsisten dengan tujuan pemerataan pendapatan, bertentangan
dengan program penanggulangan kemiskinan.
·
Arah Kebijakan
Sesuai dengan perkembangan era globalisasi dan liberalisasi
perdagangan, beberapa komoditas pangan telah menjadi komoditas yang semakin
strategis, karena dinamika ketidakpastian dan ketidakstabilan produksi
nasionalnya, sehingga tidak senantiasa dapat mengandalkan pada ketersediaan
pangan di pasar dunia. Oleh karena itu, sebagian besar negara-negara menetapkan
Sistem Ketahanan Pangan untuk kepentingan dalam negerinya, termasuk Indonesia.
Pembangunan ketahanan pangan harus dipandang sebagai bagian tidak terlepaskan
dari wawasan ketahanan nasional. Oleh karena itu pemerintah berupaya terus
memacu pembangunan ketahanan pangan melalui program–program yang benar-benar
mampu memperkokoh ketahanan pangan sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
1.
Pemantapan ketahanan pangan.
Arah kebijakan: (a) menjamin ketersediaan pangan, terutama
dari produksi dalam negeri, dalam jumlah dan keragaman untuk mendukung konsumsi
pangan sesuai kaidah kesehatan dan gizi seimbang; (b) mengembangkan kemampuan
dalam pemupukan dan pengelolaan cadangan pangan pemerintah dan masyarakat; (c)
meningkatkan kapasitas produksi pangan nasional melalui penetapan lahan abadi
untuk produksi pangan dalam rencana tata ruang wilayah dan meningkatkan
kualitas lingkungan serta sumberdaya lahan dan air.
2.
Peningkatan kemudahan dan
kemampuan mengakses pangan.
Arahkebijakan: (a) meningkatkan daya beli dan mengurangi
jumlah penduduk yang miskin; (b) meningkatkan efektivitas dan efisiensi
distribusi dan perdagangan pangan melalui pengembangan sarana dan prasarana
distribusi dan menghilangkan hambatan distribusi pangan antar daerah; (C)
mengembangkan teknologi dan kelembagaan pengolahan dan pemasaran pangan untuk
menjaga kualitas produk pangan dan mendorong peningkatan nilai tambah; (d)
meningkatkan dan memperbaiki infrastruktur dan kelembagaan ekonomi perdesaan
dalam rangka mengembangkan skema distribusi pangan kepada kelompok masyarakat
tertentu yang mengalami kerawanan pangan.
3. Peningkatan kuantitas dan kualitas konsumsi pangan menuju gizi seimbang.
Arah kebijakan: (a) menjamin pemenuhan asupan pangan bagi
setiapanggota rumah tangga dalam jumlah dan mutu yang memadai, aman dan
halaldikonsumsi dan bergizi seimbang; (b) mendorong, mengembangkan
danmembangun, serta memfasilitasi peran serta masyarakat dalam pemenuhanpangan
sebagai implementasi pemenuhan hak atas pangan; (c) mengembangkanprogram
perbaikan gizi yang cost effective, diantaranya melalui peningkatan
danpenguatan program fortifikasi pangan dan program suplementasi zat gizi
mikrokhususnya zat besi dan vitamin A; (e) mengembangkan jaringan antar
lembagamasyarakat untuk pemenuhan hak atas pangan dan gizi; dan (f)
meningkatkanefisiensi dan efektivitas intervensi bantuan pangan/pangan
bersubsidi kepadamasyarakat golongan miskin terutama anak-anak dan ibu hamil
yang bergizikurang.
4.
Peningkatan status gizi dan
kesehatan masyarakat.
Arah kebijakan: (a) mengutamakan upaya preventif, promotif
dan pelayanan gizi dan kesehatan kepada masyarakat miskin dalam rangka
mengurangi jumlah penderita gizi kurang, termasuk kurang gizi mikro (kurang
vitamin dan mineral), (b) memprioritaskan pada kelompok penentu masa depan
anak, yaitu, ibu hamil dan calon ibu hamil/remaja putri, ibu nifas dan
menyusui, bayi sampai usia dua tahun tanpa mengabaikan kelompok usia lainnya;
(c) meningkatkan upaya preventif, promotif dan pelayanan gizi dan kesehatan
pada kelompok masyarakat dewasa dan usia lanjut dalam rangka mengurangi laju
peningkatan (tren) prevalensi penyakit bukan infeksi yang terkait dengan gizi
yaitu kegemukan, tekanan darah tinggi, diabetes, dan kanker; serta penyakit
degenaratif lainnya; (d) meningkatkan kemampuan riset di bidang pangan dan gizi
untuk menunjang upaya penyusunan kebijakan dan program, monitoring, surveilan
gizi, dan evaluasi program pangan dan gizi, berdasarkan bukti (evidence-based);
(e) meningkatkan profesionalisme tenaga gizi dari berbagai tingkatan melalui
pendidikan dan pelatihan yang teratur dan berkelanjutan dan memperbaiki
distribusi penempatan tenaga gizi tersebut; (f) meningkatkan efektivitas fungsi
koordinasi lembaga-lembaga pemerintah dan swasta di pusat dan daerah, dibidang
pangan dan gizi sehingga terjamin adanya keterpaduan kebijakan, program dan
kegiatan antar sektor di pusat dan daeah, khususnya dengan sektor kesehatan,
pertanian dan ketahanan pangan, industri, perdagangan, pendidikan, agama,
pengentasan kemiskinan, serta pemerintahan
daerah.
5.
Peningkatan mutu dan keamanan
pangan.
Arah kebijakan: (a) meningkatkan pengawasan keamanan
pangan; (b) melengkapi perangkat peraturan perundangundangan di bidang mutu dan
keamanan pangan; (c) meningkatkan kesadaran produsen, importir, distributor dan
ritel terhadap keamanan pangan; (d) meningkatkan kesadaran konsumen terhadap
keamanan pangan, dan (e) mengembangkan teknologi pengawet dan pewarna makanan
yang aman dan tidak memenuhi syarat kesehatan serta terjangkau oleh usaha kecil
dan menengah produsen makanan dan jajanan.
6.
Perbaikan pola hidup sehat.
Arah kebijakan: (a)
mendukung akses edukasi dan pelayanan yang seluas-luasnya pada masyarakat dalam
melaksanakan pola hidup sehat; (b) meningkatkan komitmen dan peran serta
pemangku kepentingan dalam mendukung program pola hidup sehat; (c) meningkatkan
fungsi dan kapasitas Sektor-sektor terkait dalam pengembangan pola hidup sehat
baik di Pusat maupun di daerah; (d) melibatkan secara optimal peran serta media
dalam upaya sosialisasi program dan kebijakan program pola hidup sehat; (e)
memastikan adanya keterlibatan semua lapisan masyarakat secara aktif baik dalam
program maupun kebijakan pelaksanaan program pola hidup sehat; (f) meningkatkan
kapasitas dalam administrasi data dan informasi sehingga terbentuk data yang
akurat; (g) mengembangkan program Usaha Kesehatan Sekolah (UKS); (h)
mengembangkan program pendidikan kecakapan hidup (Life Skills Education).
·
Strategi khusus Penurunan tingkat
kelaparan & kemiskinan
1.
Peningkatan Kesempatan (creating opportunities), melalui pengembangkan bisnis
dan kesempatan kerja
2.
Pemberdayaan Masyarakat (Community Empowerment) melalui pemberdayakan sehingga
mampu akses terhadap sumberdaya ekonomi, sosial dan hak-hak politik dan
keterlibatan
3.
Peningkatan Kapasitas & pembangunan sumberdaya manusia (Capacity Building
and Human Resource Development), melalui peningkatan kemampuan yang berkaitan
dengan sasaran peningkatan pelayanan pendidikan, kesehatan, pangan, perumahan
agar masyarakat makin produktif
4.
Perlindungan Sosial (Social Protection): Perlindungan sosial yang berkaitan
dengan sasaran pemberian jaminan kehidupan bagimasyarakat yang mengalami
kecacatan, fakir miskin, keterisolasian, konflik sosial, kehilangan pekerjaan
sehingga berpotensi menjadi miskin
5. Prioritas
pada daerah rawan pangan
·
Strategi khusus Pemantapan ketersedian
pangan
1.
Perwilayahan komoditas pangan sesuai dengan potensi
2. Pemantapan
Infrastruktur produksi
3.
Pengembangan Teknologi spesifik lokasi
4. Penyediaan
modal dan sarana produksi
5.
Pengendalian kelestarian sumberdaya lahan dan air
6. Pemantapan
Kelembagaan petani
·
Strategi khusus Pemantapan Diversifikasi
konsumsi pangan
1. Penyediaan
suplai pangan dengan mengembangkan sumberdaya lokal (unggulan wilayah)
2.
Pengembangan agroindustri pangan dengan kemasan “modern”
3.
Peningkatan KAP (Knowledge, Attitude, Practice ) melalui gerakan tentang
konsumsi pangan yang beragam dan gizi seimbang serta aman
4.
Peningkatan income
5.
Pemberdayaan kelembagaan lokal
6. Gerakan
diversifikasi pangan
·
Strategi khusus Pemantapan Distribusi
pangan
1. Penetapan
harga pembelian pemerintah
2. Intervensi
pemerintah terhadap pasar
3. Penguatan
posisi tawar petani
4.
Pengembangan sarana dan prasarana pasca panen dan infra struktur distribusi
5. Kemitraan petani
Setelah Proklamasi
Kemerdekaan, pemerintah Indonesia langsung berkonsentrasi untuk membangun
sektor pertanian di segala bidang. Departemen yang mengurusi bidang perikanan
laut itu pun sudah ada sejak kabinet pertama dibentuk. Melalui Kementrian
Kemakmuran Rakyat yang dipimpin oleh Menteri Mr. Sjafruddin Prawiranegara
dibentuklah Jawatan Perikanan yang mengurusi kegiatan-kegiatan perikanan darat
dan laut. Program swasembada beras sesungguhnya pula sudah dicanangkan di era Soekarno,
tepatnya selama periode 1952-1956.
Mengenai diversifikasi tanaman pangan itu pun sudah dipikirkan di era Soekarno. Program swasembada beras paska 1956 tetap dilanjutkan melalui program sentra padi yang diatur oleh Yayasan Badan Pembelian Padi (YBPP). Pada 1963, Soekarno memasukkan jagung sebagai bahan pangan pengganti selain beras, dan pada 1964 menerapkan Panca Usaha Tani. Hal ini menyesuaikan dengan kultur bercocok tanam dari petani yang biasanya memvariasikan antara tanaman padi dan jagung. Institusi pendukung di bidang pertanian maupun sub-sub sektor pertanian lebih banyak ditopang oleh kelembagaan inti yang dulunya pernah digunakan oleh pemerintahan Hindia Belanda. Bedanya, orientasi pemerintahan republik bertujuan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, lalu orientasi untuk ekspor.
Tidak seperti sekarang yang sudah memiliki sumber daya manusia dan infrastruktur yang lebih baik, pembangunan di sektor pertanian di era Soekarno menemui jauh lebih banyak kesulitan dan tantangannya di dalam negeri. Tingkat ketergantungan terhadap jenis tanaman beras masih tergolong tinggi. Sekalipun demikian, Indonesia di masa itu belum pernah tercatat mengalami krisis pangan yang menyebabkan kasus kelaparan seperti yang pernah dialami oleh India dan China. Dalam beberapa periode, harga kebutuhan pokok sempat mengalami lonjakan harga yang cukup tinggi. Tetapi lonjakan harga tersebut tidak banyak berimbas di wilayah pedesaan yang relatif masih menerapkan pola diversifikasi bahan makanan. Pola kebijakan pertanian di masa Soekarno memang lebih menitikberatkan pada jenis tanaman lokal sebagai komoditi utama. Misalnya seperti jenis sagu di Maluku dan Papu atau nasi jagung di Sulawesi.
Untuk pertama kalinya, pemerintahan republik membentuk
badan penyangga pangan yang disebut Badan Urusan Logistik atau Bulog pada
tanggal 14 Mei 1967. Tugas pokok dari Bulog adalah berfungsi sebagai agen
pembeli beras tunggal. Berdirinya Bulog sejak awal diproyeksikan untuk menjaga
ketahanan pangan Indonesia melalui dua mekanisme yakni stabilisasi harga beras
dan pengadaan bulanan untuk PNS dan militer. Pada prinsipnya, Bulog nantinya
akan menjadi lumbung nasional yang tugas utamanya untuk menjaga pasokan
(supply) komoditi pangan dan menjaga stabilitas harga tanaman pangan utama. Mengenai diversifikasi tanaman pangan itu pun sudah dipikirkan di era Soekarno. Program swasembada beras paska 1956 tetap dilanjutkan melalui program sentra padi yang diatur oleh Yayasan Badan Pembelian Padi (YBPP). Pada 1963, Soekarno memasukkan jagung sebagai bahan pangan pengganti selain beras, dan pada 1964 menerapkan Panca Usaha Tani. Hal ini menyesuaikan dengan kultur bercocok tanam dari petani yang biasanya memvariasikan antara tanaman padi dan jagung. Institusi pendukung di bidang pertanian maupun sub-sub sektor pertanian lebih banyak ditopang oleh kelembagaan inti yang dulunya pernah digunakan oleh pemerintahan Hindia Belanda. Bedanya, orientasi pemerintahan republik bertujuan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, lalu orientasi untuk ekspor.
Tidak seperti sekarang yang sudah memiliki sumber daya manusia dan infrastruktur yang lebih baik, pembangunan di sektor pertanian di era Soekarno menemui jauh lebih banyak kesulitan dan tantangannya di dalam negeri. Tingkat ketergantungan terhadap jenis tanaman beras masih tergolong tinggi. Sekalipun demikian, Indonesia di masa itu belum pernah tercatat mengalami krisis pangan yang menyebabkan kasus kelaparan seperti yang pernah dialami oleh India dan China. Dalam beberapa periode, harga kebutuhan pokok sempat mengalami lonjakan harga yang cukup tinggi. Tetapi lonjakan harga tersebut tidak banyak berimbas di wilayah pedesaan yang relatif masih menerapkan pola diversifikasi bahan makanan. Pola kebijakan pertanian di masa Soekarno memang lebih menitikberatkan pada jenis tanaman lokal sebagai komoditi utama. Misalnya seperti jenis sagu di Maluku dan Papu atau nasi jagung di Sulawesi.
Pertanian pada Masa Orde Baru
Setelah masuk ke era Orde Baru, pembangunan di sektor pertanian tetap menjadi prioritas program kerja kabinet. Selama dua periode PELITA (Pembangunan Lima Tahun) dari tahun 1969-1979, kebijakan pembangunan lebih banyak dikonsentrasikan untuk memperkuat basis sektor pertanian. Program revolusi hijau (green revolution) guna mendukung percepatan pencapaian swasembada beras pada tahun 1974. Pada tahun 1971, Bulog mendapatkan tugas/peran baru, yaitu mempunyai tugas sebagai pengimpor gula dan gandum. Biaya besar untuk mendukung program pertanian tersebut ditopang oleh ekspor migas yang mencapai puncak harga tertinggi pada pada pertengahan dekade 1970an.
Soeharto punya ambisi yang
kuat untuk mempercepat swasembada beras yang belum pernah dicapai sejak masa
kemerdekaan. Salah satunya adalah dengan mengadopsi program revolusi hijau
sejak tahun 1974. Sayangnya, program yang berbiaya mahal tersebut ternyata
hanya menghasilkan swasembada beras pada tahun 1984, 1985, dan 1986
(berdasarkan laporan statistik pertanian dari BPS). Sesudahnya, Indonesia
kembali menjadi pengimpor beras, bahkan menjadi pengimpor beras terbesar di
Asia Tenggara. Program revolusi hijau ini pun hanya menguntungkan petani kaya
atau pemilik lahan dengan luas lahan lebih dari 1 hektar.
Setelah beras, pemerintah
berusaha untuk menutupi kekurangan pasokan dalam negeri dan impor dengan
mendatangkan (impor) gandum. Bila semula diberikan kewenangan ke Bulog, maka
kewenangan untuk mengimpor gandum itu pun akhirnya diserahkan ke Bogasari (swasta).
Awalnya, pemerintah mencoba untuk membudidayakan jenis tanaman gandum, tetapi
upaya ini sulit terwujud, karena tanaman gandum memang kurang cocok untuk jenis
tanah pertanian di Indonesia.
Dalam rangka untuk mendukung
program pertanian pangan, pemerintah di era Orde Baru membuat cukup banyak
pembangunan infrastruktur pendukung. Misalnya seperti pembangunan irigasi,
pendirian pabrik pembuatan pupuk urea, dan pembangunan pusat-pusat penelitian
tanaman pangan. Sayangnya, keseluruhan saran dan prasarana pendukungnya masih
difokuskan pada jenis tanaman beras. Tanaman beras disosialisasikan di seluruh
wilayah yang dianggap cocok untuk ditanami jenis tanaman padi seperti di
Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, Maluku, Ternate, NTT, NTB, bahkan sampai ke
Papua. Program transmigrasi pun digerakkan seluas-luasnya untuk mendukung
perluasan lahan tanaman padi di luar Pulau Jawa. Tujuannya tidak lain untuk
mendorong peningkatan produksi beras di dalam negeri.
3.ANALISIS
KEBIJAKAN PEMBANGUNAN TANAMAN NON PANGAN PADA BERBAGAI ERA
PEMBANGUNAN
Persoalan
kepemimpinan senantiasa menarik untuk dibahas karena berhubungan dengan
perannya sebagai pemimpin dalam membawa perubahan pada masyarakat yang
dipimpin. Peran kepemimpinan selalu
memberikan daya tarik yang kuat pada setiap orang. Literatur tentang kepemimpinan senantiasa
memberikan penjelasan bagaimana menjadi pemimpin yang baik, sikap dan gaya yang
sesuai dengan situasi kepemimpinan, dan syarat-syarat pemimpin yang baik.
Peran
kepemimpinan hanya dapat dilihat dari keberpihakan kebijakan terhadap apa yang
diyakini sebagai kebenaran dan dapat membawa kemaslahatan terhadap yang
dipimpin. Pemimpin saat ini selayaknya
tidak hanya mampu dalam menentukan kebijakan untuk mengantisipasi berbagai
perubahan global lalu tunduk kepada arus trend globalisasi, tetapi justru harus
mampu proaktif, mengukir sejarah masa depan dan mendesain wujud globalisasi
serta percaturan ekonomi dunia.
pangan, maka
Pemimpin memiliki legitimasi penuh guna mewujudkan tatanan kehidupan
masyarakat, khususnya bidang ketahanan pangan.
Peran Pemimpin harus mampu menyediakan ruang kreatif bagi peningkatan
ketahanan pangan nasional melalui kebijakan jangka pendek, menengah dan jangka
panjang (Dale Timpe 1993 : 109).
Pemimpin
bukanlah manajer sehingga unsur pertama dari kepemimpinan adalah memanfaatkan
kekuasaan dalam melakukan perubahan yang transformatif. Pemimpin dapat berperan dengan baik dalam
membuat kebijakan strategis terhadap terwujudnya ketahanan pangan nasional
apabila memiliki pandang yang luas tentang pentingnya pembangunan ketahanan
pangan bagi keberlanjutan kehidupan bangsa.
Pandangan
tersebut harus dapat dikomunikasikan sehingga dapat meyakinkan tentang keadaan
yang dinginkan dan memerlukan kegigihan, konsistensi dan fokus pada persoalan
kebutuhan pangan masyarakat yang sampai saat ini ditangani dengan cara membeli
bukan dengan memproduksi walaupun segalanya ada dinegara yang subur akan SKA.
Peran yang
konsisten dari seorang pemimpin yang fokus dan gigih dalam pembangunan pada
sektor pangan juga harus mampu menyerap tenaga kerja guna mengatasi
pengangguran dan persoalan urbanisasi, sehingga dapat menyejahterakan
masyarakat. Pemimpin harus memiliki
peran strategis sebagai pengambil kebijakan dalam bentuk regulasi, penyiapan
infrastruktur pertanian, memiliki akses kepada jaminan perbankan sampai kepada
penyiapan lahan, bibit unggul dan penggunaan teknologi pertanian modern,
sehingga dapat memainkan peran yang lebih signifikan terhadap kemajuan dan
kedaulatan pangan nasional
Peran
kepemimpinan dengan pola baru memerlukan pemahaman suatu pendekatan tiga
dimensi dalam mewujudkan ketahanan pangan nasional, yaitu (1) Seorang pemimpin
harus memiliki wawasan sebagai langkah awal dalam peran kepemimpinan yang
menyeimbangkan perencanaan strategis dengan pelaksanaan yang sejalan dengan
tujuan yang ingin dicapai; (2) Penyelarasan merupakan langkah kedua dalam peran
kepemimpinan dengan mewujudkan kebersamaan dalam tindakan melalui keterikatan
dalam sistem (perangkat unsur yang teratur dan saling berkaitan sehingga membentuk
totalitas), struktur dan proses dalam pembangunan sistem ketahanan pangan yang
tanggu; (3) Pemberdayaan sebagai hal penting dan strategis dalam peran
kepemimpinan untuk mempersatukan wujud kepentingan yang seimbang antara
individu, kelompok dan organisasi sebagai daya untuk memotivasi perubahan sikap
melalui pemberdayaan bakat, kecerdikan emosional dan membangkitkan pikiran
kreativitas.
a. Kebijakan Strategis Bidang Pangan.
Sebagai negara yang memiliki posisi strategis dari
sisi geografis, geopolitis dan geoekonomi, Indonesia memiliki peluang dalam
meningkatkan ketahanan pangan nasional dan memperkuat kedaulatan bangsa. Posisi indonesia yang dipengaruhi iklim
tropis dapat membantu setiap pemimpin dalam menetapkan kebijakan yang berdampak
kepada peningkatan ketahanan pangan nasional.
b. Mewujudkan Ketahanan Pangan.
Sebagai negara
yang memiliki SKA berlimpah serta komoditas pangan yang beraneka ragam
semestinya Indonesia memiliki keunggulan dalam bidang pertanian. Namun sampai saat ini kebutuhan pangan
Indonesia masih dicukupi dengan impor dari Vietnam dan Thailand atau Australia
dan New Zealand. Indonesia pernah
berhasil mencapai swasembada beras pada tahun 1984.
Keberhasilan
produksi ini merupakan suatu alasan utama Indonesia cukup berhasil dalam
menjaga ketahanan pangan pada saat itu, sehingga tidak terjadi insiden
kelaparan skala besar. Peningkatan
produksi dalam negeri telah berhasil mengurangi ketergantungan terhadap impor
beras untuk meningkatkan kemandirian dan mengurangi pengadaan beras akibat
gejolak pasar dan politik luar negeri.
Persoalan
mendasar yang dihadapi dalam pembangunan ketahanan pangan terfokus pada dua hal
pokok. Pertama, adanya pertumbuhan
permintaan pangan yang lebih cepat daripada pertumbuhan produksi pangan
domestik. Kedua, besarnya proporsi
kelompok masyarakat yang hidup dibawah garis kemiskinan. Arah pembangunan ketahanan pangan yaitu :
(1) mewujudkan kemandirian pangan guna menjamin ketersediaan pangan ditingkat
nasional, daerah hingga rumah tangga yang cukup, aman, bermutu, dan bergizi
seimbang; dan (2) perwujudan ketahanan pangan merupakan tanggung jawab bersama
pemerintah dan masyarakat, termasuk swasta.
Pembangunan ketahanan pangan bertujuan untuk memperkuat ketahanan pangan
di tingkat mikro (rumah tangga serta individu) yang bermakna stragegis dan ditingkat makro (nasional).
Terdapat banyak
kebijakan-kebijakan lain dalam meminjam dana dari pihak luar negeri dalam
menentukan kebijakan-kebijakan yang diambil guna membangun pembangunan daerah
dan nasional.
Perlu kita
perhatikan, dalam meminjam dana dari pihak luar negeri diperlukan kebijakan
yang harus diambil agar Negara dapat menefisiensi kan dana yang di pinjam
dengan dana yang harus dikeluarkan, agar hutang luar negeri nantinya tidak memberatkan
Negara.
Jadi, dilihat
secara garis besar dalam melakukan kebijakan-kebijakan pembangunan Indonesia
baik kebijakan pembangunan nasional maupun kebijkan pembangunan daerah
kaitannya erat sekali dengan kebijakan hutang luar negeri.dan aman.tang Ketahanan
Pangan Bab I Pasal 13.
4. Perubahan Struktur
Ekonomi Indonesia
Teori perubahan sturktur ekonomi bertujuan pada mekanisme
transformasi yang dialami oleh negara-negara berkembang yang menitikberatkan
pada sektor tradisional menuju ke sektor modern.
Cheneri meminjam istilah Kuznets,
mengatakan bahwa perubahan sturktur ekonomi, secara umum disebut sebagai
transformasi struktur yang diartikan sebagai suatu rangkaian perubahan yang
saling terkait satu sama lain dalam komposisi agregat demand (AD), ekspor-impor (X - M), Agregat
supplay (AS) yang merupakan dalam penggunaan faktor-faktor produksi
seperti tenaga kerja dan modal guna mendukung proses pembangunan dan
pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Ada dua teori utama yang umum
digunakan dalam menganalisis perubahan sturktur ekonomi, yakni dari Arthur
Lewis tentang migrasi dan Hollis Chenery tentang teori transportasi struktural.
Teori Lewis pada dasarnya membahas tentang proses pembangunan ekonomi yang
terjadi di daerah pedesaan dan di daerah perkotaan. Didalamnya Lewis
memberitahukan bahwa perekonomian suatu negara pada dasarnya terbagi atas dua,
yaitu perekonomian tradisional di pedesaan yang didominasi sektor pertanian dan
perekonomian modern di perkotaan yang di dominasi oleh sektor industri.
` Struktur
Perekonomian Indonesia
Menurut Dumairy struktur
perekonomian suatu negara dapat dilihat dari berbagai sudut tinjauannya.
Struktur perekonomian dapat dilihat dari empat sudut tinjauan, yaitu tinjauan
makro-sektoral, tinjauan keuangan, tinjauan penyelenggaraan kenegaraan, dan
tinjauan birokrasi pengambilan keputusan.
Tinjauan makro-sektoral dan
keuangan merupakan tinjauan ekonomi murni sedangkan tinjauan kenegaraan
dan tinjauan birokrasi pengambilan keputusan adalah tinjauan di bidang politik.
Berikut penjelasannya:
A.
Struktur Ekonomi Dari
Tinjauan Makro-Sektoral
Berdasarkan tinjauan makro-sektoral perekonomian suatu
negara dapat berstruktur agraris, industri, atau niaga. Hal ini tergantung pada
sektor apa/mana yang dapat menjadi tulang punggung perekonomian negara yang
bersangkutan. Dilihat secara makro sektoral dalam bentuk produk domestik bruto
maka struktur perekonomian Indonesia pada tahun 1990-an masih menggunakan
sektor agraris, namun sekarang sudah menjadi sektor industri.
Struktur perekonomian Indonesia yang industrialisasi
pada saat ini sesungguhnya belum mutlak, tetapi masih sangat dini.
Industrialisasi di Indonesia barulah berdasarkan kontribusi sektoral dalam
membentuk PDB atau pendapatan nasional. Industrialisasi yang ada belum didukung
dengan kontribusi sektoral dalam penerapan tenaga dan angkatan kerja. Apabila
kontribusi sektoral dalam menyumbangkan pendapat dalam penerapan tenaga kerja
diperbandingkan, maka struktur ekonomi Indonesia ternyata masih dualisme.
Boeke seorang ilmuan asal Belanda mengatakan bahwa
perekonomian Indonesia berstruktur dualistis. Sebab dari segi penyerapan tenaga
kerja dan sumber kehidupan rakyat (53,69%), sedangkan sektor industri
pengolahan hanya menyerap 10,51% tenaga kerja.
B.
Struktur Ekonomi Dari
Tinjauan Keruangan
Pergeseran struktur ekonomi secara makro-sektoral
hampir sama dengan pergeseran keruangan. Ditinjau dari sudut pandang keruangan,
struktur perekonomian di Indonesia telah bergeser dari struktur pedesaan
menjadi struktur perkotaan. Hal ini dapat kita lihat dan kita rasakan sejak era
Orde Baru hingga era reformasi sekarang ini. Kemajuan perekonomian di daerah
perkotaan jauh lebih pesat dibandingkan dengan di daerah pedesaan. Hal ini
disebabkan oleh pembangunan di daerah perkotaan lebih pesat perkembangannya,
terutama di sektor industri mulai dari sarana dan prasarana transportasi dan
komunikasi.
C.
Struktur Ekonomi Dari
Tinjauan Penyelenggaraan Kenegaraan
Struktur ekonomi dengan tinjauan penyelenggaraan
kenegaraan. Ditinjau dari sisi struktur perekonomian dapat dibedakan menjadi
struktur etatis, egaliter, atau borjuis.
Struktur ekonomi Indonesia sejak awal Orde Baru hingga
pertengahan dasawarsa 1980-an berstruktur etatis dimana
pemerintah atau BUMN sebagai tolak ukur negara, merupakan pelaku utama perekonomian
Indonesia. Mulai pertengahan dasawarsa 1990-an peran pemerintah dalam
perekonomian berangsur-angsur dikurangi, yaitu sudah secara eksplisit
dituangkan melalui GBHN 1988/1989 mengundang kalangan swasta untuk berperan
lebih besar dalam perekonomian nasional.
Struktur ekonomi untuk sementara mengarah pada
perekonomian yang berstruktur borjuis, dan belum mengarah ke
struktur perekonomian yang egaliter, karena baru kalangan pemodal dan usahawan
kuatlah yang dapat dengan cepat menanggapi undangan dari pemerintah tersebut.
Maka akibatnya terjadi ekonomi konglomerasi dimana hanya beberapa orang pemodal
kuat yang mengendalikan sektor-sektor ekonomi di Indonesia, yang dampaknya kita
rasakan sekarang yaitu ambruknya perekonomian Indonesia karena tidak terkendalinya
investasi-investasi yang dananya berupa pinjaman dari luar negeri.
Pada era reformasi ini struktur ekonomi Indonesia
diarahkan pada strruktur ekonomi egaliter dimana seluruh penggerak roda
perekonomian dilibatkan dalam membangun perekonomian Indonesia. Misalnya dengan
memperkuat peran usaha-usaha koperasi, pengusaha mikro kecil dan menengah
karena mereka dianggap pelaku-pelaku ekonomi yang tahan menghadapai krisis
ekonomi dan dianggap sebagai pelaku-pelaku ekonomi yang mampu menjadi
penyangga perekonomian Indonesia.
D.
Struktur Ekonomi Dari
Tinjauan Birokrasi Pengambilan Keputusan
Struktur ekonomi dapat pula dilihat berdasarkan
tinjauan birokrasi pengambilan keputusan. Dilihat dari sudut tinjauannya,
struktur ekonomi dapat dibedakan menjadi struktur ekonomi yang terpusat sentralisasi dan desentralisasi.
Berdasarkan tinjauan birokrasi pengambilan keputusan,
dapat dikatakan bahwa struktur perekonomian Indonesia selama era pembangunan
jangka panjang tahap pertama adalah sentralistis. Dalam struktur ekonomi yang
sentralistis pembuatan keputusannya lebih banyak ditetapkan oleh pemerintah
pusat atau kalangan atas pemerintahan. Pemerintah daerah atau kalangan
pemerintahan dibawah, beserta masyarakat dan mereka yang tidak memiliki akses
ke pemerintahan pusat, cenderung hanya menjadi pelaksana saja dan hanya sebagai
pendengar saja.
Struktur birokrasi pengambilan keputusan yang
sentralistis ini terpelihara rapih selama pemerintahan orde baru. Hal ini
disebabkan oleh budaya atau kultur masyarakat Indonesia yang paternalistik.
Walaupun Indonesia sudah merdeka dan menuju ke arah era globalisasi namun
budaya ini masih sulit untuk ditinggalkan, dan bahkan cenderung dipertahankan.
Struktur perekonomian yang etatis dan sentralistis
berkaitan erat. Pemerintah Pusat menganggap bahwa Pemerintah Daerah belum cukup
mampu untuk menjalani tugas untuk melaksanakan pembangunan ekonomi. Argumentasi
yang sering dijadikan legitimasi adalah karena sebagai negara sedang berkembang
yang barau mulai melakukan proses pembangunan. Sehingga dalam kondisi yang
demikian diperlukan peran sekaligus dukungan pemerintah sebagai agen
pembangunan, sehingga menjadikannya etatis, dan sekaligus dibutuhkan
pemerintahan yang kuat. Namun demikian sejak awal pembangunan jangka
panjang tahap kedua (PJP II) struktur perekonomian yang etatis dan sentralistis
tersebut secara berangsur mulai berkurang.
5. Analisa Strategi Pembangunan Sektor
Industri Pengembangan Impor
Permasalahan di Indonesia yang cukup
mendasar mengenai perdagangan Internasional ,salah satunya adalah impor.
Apabila kita melihat di negara negara berkembang, peran industrialisasi
substitusi impor dalam pembangunan ekonomi sangat penting sehingga sektor
industri sangat berperan dalam substitusi impor. Substitusi impor merupakan
salah satu upaya yang tepat dalam mengganti berbagai macam kebutuhan yang
sebelumnya diimpor dengan produk-produk buatan dalam negeri.
Data statistik BPS menyebutkan pada 2004
belanja impor Indonesia mencapai angka US$46,52 miliar dan semakin lama semakin
meningkat. Bahkan pada 2008 saja sudah mencapai US$128,79 miliar. Dengan
komposisi impor migas US$30,49 miliar dan nonmigas US$98,32 miliar. Nilai
sebesar itu artinya devisa yang seharusnya dapat dihemat dan dibelanjakan di
dalam negeri terpaksa dibelanjakan keluar negeri.
Industri manufaktur berupa otomotif, tekstil,
garmen, dan industri alas kaki merupakan sektor industri yang paling terancam.
Industri ini merupakan sektor padat karya yang menyerap tenaga kerja dalam
jumlah banyak. Dengan berlimpahnya produk China yang cenderung lebih murah, hal
itu dikhawatirkan mematikan produk lokal. Biaya produksi di Indonesia
tergolong tinggi sehingga harga pasar domestik pun lebih tinggi dibandingkan
harga produk China
Dalam
hal impor, Kementerian Perdagangan berupaya mengelola impor yang berorientasi
pada kepentingan nasional, yaitu sesuai standar kesehatan, keamanan,
keselamatan, lingkungan, dan moral bangsa. Pertumbuhan impor selama periode
2004- 2008, khususnya nonmigas,meningkat rata-rata 26,5 persen per tahun. Impor
nonmigas sebagianbesar merupakan impor bahan baku atau penolong dan barang
modal untuk memenuhi kebutuhan investasi dan produksi di dalam negeri, termasuk
yang berorientasi ekspor. Pengelolaan impor juga diarahkan untuk menciptakan
iklim persaingan yang sehat dan transparan di dalam negeri, sehingga tidak
terjadi perdagangan yang t idak adil dan memast ikan impor yang masuk melalui
perjanjian perdagangan bebas (FTA) memenuhi syarat. Negara yang menj adi sumber
impor nonmigas terbesar Indonesia adalah RRT, Jepang, dan Singapura. Ketiga
negara tersebut memberikan kontribusi sebesar 41,5 persen dari total impor
nonmigas Indonesia tahun 2008.
Berikut analisa strategi pembangunan sektor industri
pengembangan impor menurut beberapa ahli :
1.
Teori Kebijakan Strategi Negara
Berkembang
Masalah kebijakan
perdagangan sangat berpengaruh dalam pembangunan ekonomi di negara-negara
berkembang. Untuk itu teori-teori mengenai impor untuk pembangunan
diperlukan kebijakan khusus dalam konteks strategi negara berkembang ada yang
berorientasi ke luar dan ke dalam. Kebijakan pembangunan berorientasi ke luar (
outward-looking development policies) adalah suatu rangkaian kebijakan yang
tidak hanya mendorong berlangsungnya perdagangan bebas tetapi juga
memungkinkan pergerakan secara bebas atas faktor-faktor produksi
(modal,tenaga kerja), perusahaan-perusahaan dan para pelajar,perusahaan
multinasional,dan suatu sistem komunikasi yang terbuka.
Kebijakan
pembangunan berorientasi ke dalam (inward- looking development policies) adalah
suatu kebijakan yang lebih menekankan pada usaha-usaha negara berkembang untuk
menciptakan suatu pendekatan pembangunan mandiri yang benar-benar sesuai dengan
kebutuhan dan aspirasi pembangunannya agar mereka lebih mampu mengendalikan
ataupun menentukan nasib mereka sendiri
2.
Strategi
Pengembangan Sektor Industri
Hasibuan
(1986)mengemukakan bahwa untuk mengurangi ketergantungan pembangunan
industri di negara berkembang terhadap negara maju dapat ditempuh strategi
industri pengganti impor yang disertai dengan politik proteksi. Ditempuhnya
strategi pengganti impor tersebut berdasarkan pertimbangan bahwa :
1. sumber-sumber
ekonomi relatif tersedia di dalam negeri
2. respon permintaan
barang-barang industri dari negara maju masih rendah
3. mengurangi
akibat-akibat ketidakstabilan pasar internasional terhadap pasar di dalam negeri 4. mendorong industri di dalam
negeri supaya lebih berkembang,
5. adanya potensi
permintaan di dalam negeri yang memadai
6. membuka kesempatan
kerja, meningakatkan nilai tambah dan menghemat devisa.
7. mempercepat proses
pengalihan teknologi,
8. oleh karena
strategi tersebut akan diikuti dengan proteksi yang tinggi, sedangkan potensi
permintaan dalam negeri cukup luas, maka lebih menarik investasi dari dalam dan
luar negeri.
3.
Selain itu menurut Zain (1986)
Dalam Sahara (1999)
strategi yang perlu dilakukan untuk pengembangan industri dimasa yang akan
datang adalah :
1.Keunggulan
komparatif, yaitu dilihat dari sumber daya alam yang tersedia di Indonesia
2.Keterkaitan antar
sektor terutama sektor hulu hilir. Efek selanjutnya adalah terciptanya penghematan
devisa, meningkatkan pendapatan, keahlian dan kesempatan kerja.
3.Teknologi yang
tinggi dan selalu berkembang untk pembangunan industri hulu secara simultan.
Faktor
untuk industri hulu harus merupakan pertimbangan yang dominan karena apabila
industri hulu menggunakan teknologi yang tinggi dan efisien maka industri
hilirnya tidak akan mengalami biaya yang tinggi dan ini sesuai dengan sasaran
untuk mengembangkan industri yang kompetitif untuk ekspor
4. SubtitusiImpor(inward-looking)
a.Strategi
industrialisasi
1.Strategi Subtitusi Impor
- Lebih menekankan pada pengembangan industry yang berorientasi pada pasar domestic
-Strategi subtitusi impor adalah industry domestic yang membuat barang menggantikan impor
- Dilandasi oleh pemikiran bahwa laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi dapat dicapai dengan mengembangkan industry dalam negeri yang memproduksi barang pengganti impor
- Lebih menekankan pada pengembangan industry yang berorientasi pada pasar domestic
-Strategi subtitusi impor adalah industry domestic yang membuat barang menggantikan impor
- Dilandasi oleh pemikiran bahwa laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi dapat dicapai dengan mengembangkan industry dalam negeri yang memproduksi barang pengganti impor
Pertimbangan
yang lajim digunakan dalam memilih strategi ini adalah:
a. SDA dan
factor produksi lain (terutama tenaga kerja) cukup tersedia
b. Potensi permintaan dalam negeri memadai
c. Pendorong perkembangan sector industry manufaktur dalam negeri
d. Dengan perkembangan industry dalam negeri, kesempatan kerja lebih luas
e. Dapat mengurangi ketergantungan impor
b. Potensi permintaan dalam negeri memadai
c. Pendorong perkembangan sector industry manufaktur dalam negeri
d. Dengan perkembangan industry dalam negeri, kesempatan kerja lebih luas
e. Dapat mengurangi ketergantungan impor
5. Kebijakan industrialisasi
o Dirombaknya system devisa sehingga transaksi luar negeri lebih bebas dan sederhana
o Dikuranginya fasilitas khusus yang hanya disediakan bagi perusahaan Negara dan kebijakan pemerintah untuk mendorong pertumbuhan sector swasta bersama-sama dengan BUMN
o Diberlakukannya Undang-undang PMA
o Dirombaknya system devisa sehingga transaksi luar negeri lebih bebas dan sederhana
o Dikuranginya fasilitas khusus yang hanya disediakan bagi perusahaan Negara dan kebijakan pemerintah untuk mendorong pertumbuhan sector swasta bersama-sama dengan BUMN
o Diberlakukannya Undang-undang PMA
6.ANALISA STRATEGI PEMBANGUNAN SEKTOR INDUSTRI PENGGANTI
EKSPOR
Yakni strategi
yang memfokuskan pada pengembangan industri nasional lebih berorientasi ke
pasar internasional dalam usaha pengembangan industri. Ekspor komoditi primer
secara langsung berangsur – angsur diganti dengan ekpor komoditi yang sudah
diolah di dalam negeri. Strategi pendorong ekspor dilandasi oleh pemikiran
bahwa laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi hanya bisa direalisasikan jika
produk – produk yang dibuat didalam negeri dijual disuatu pasar
Rekomendasi agar strategi ini dapat
berhasil :
1.
Nilai tukar harus realistis
2.
Adanya insentif untuk peningkatkan ekspor
3.
Tingkat proteksi impornya harus rendah
Menurut Anne Krueger (1978).
Wakil presiden bank dunia, ada 4 faktor yang dapat menerangkan mengapa strategi
industrialisasi promosi ekspor dapat mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih
pesat ketimbang strategi substitusi impor, ke empat faktor tersebut adalah:
1. Kaitan sektor pertanian
dengan sektor industri
Pertumbuhan sektor pertanian yang pesat penting sekali bagi pertumbuhan ekonomi pada
umumnya, namun pengalaman dari korea selatan (yang sejak tahun 1961 telah
menempuh strategi promosi ekspor) telah menunjukkan bahwa dengan strategi
promosi ekspor, kaitan antara keberhasilan sektor pertanian dan keberhasilan
sektor industri tidak begitu erat seperti di bawah strategi substitusi impor.
Hal ini disebabkan karena di NSB telah menempuh strategi promosi ekspor
ternyata telah berhasil cukup cadangan devisa untuk mengimpor pangan (jika
perlu) dari pada negara-negara yang telah menempuh strategi substitusi
impor.karena strategi substitusi impor ternyata justru mempunyai kepadatan
impor yang tinggi. Dengan demikian biaya oportunitas impor pangan tinggi
sekali, karena devisa yang langka ini tidak dapat digunakan untuk impor yang
lainnya yang penting, misalnya barang-barang modal untuk pembangunan.
2. Skala ekonomis
Bagi industri-industri dimana faktor skala
ekonomi (economices of scale) adalah
penting,maka strategi promosi ekspor akan dapat memberikan dorongan yang kuat
kepada perusahaan-perusahaan baru dari pada dibawah substitusi impor.
Karena perusahaan-perusahaan ini dapat menyusun
rencana investasi. Produksi dan pemasaran mereka atas dasar potensi pasar
domestik dan pasar ekspor. Dengan strategi promosi ekspor sejak semula dapat
dibangun pabrik dengan skala ekonomi yang efisien, oleh karena dalam membangun
pabrik-pabrik tersebut para industrialis sudah merencanakan untuk memasarkan
sebagian dari produksi mereka dari pasar dunia.
3. Persaingan
Suatu segi positif yang penting dari strategi
promosi ekspor adalah bahwa persaingan dipasar ekspor mengaharuskan para
industralis untuk menjajagi berbagai cara untuk menekan biayaproduksi mereka
sampai ketingskt yang serendah-rendahnya sehingga hasil-hasil produksinya
mereka bisa bersaing dalam hal harga (price
competitive) dipasar ekspor, maka persaingan ketat dipasar ekpor juga akan
mengahruskan para industriawan untuk mengadakan pengendalian mutu (quality control) yang ketat pula,
mengadakan modifikasi dalam desain barang-brang sesuai dengan perubahan selera
masyarakat dalam kemajuan teknologi baru, an memastikan pengadaan barang-barng
sesuai dengan jadwal engadaan yang telah ditetapkan.
4. Kekurangan Devisa
Pengalaman NSB,termasuk Indonesia, telah
menunjukkan bahwa kekurangan devisa telah menghambat pertumbuhan ekonomi yang
pesat, pada tingkat makro ekonomi, skala investasi nsioanal perlu dikurangi,
jika diperkirakan bahwa ditahun-tahun mandatang akan dihadapi masalah
kekurangan devisa. Pada tingakt micro ekonomi, berbagai proyek pembangunan
mungkin perlu dijadwalkan kembali(seperti yang dilakukan indonesia pada tahun
1983 sebagai akibat dari defisit tarnsaksi berjalan telah dialami sejak tahun
1982 dengan berakhirnya rizki minyak dan demikian juga pada tahun 1991 sebagai
akibat dari adanya boomimg investasi pasca derugulasi perbankan) atau terpaksa
dihentikan jika impor bahan-bahan baku, barang-barang setengah jadi, dan
barang-barang modal tidak dapat dilanjutkanakibat kekurangan devisa.
Meskipun NSB telah menempuh strategi promosi
ekspor tentu tidak bebas dari masalah tekanan pada neraca pembayaran dan
kekurangan devisa, namun strategi yang bertujuan untuk memperoleh devisa
sebanyak mungkin melalui ekspor barang-barang jadi (manutactured exports) akan lebih berhasil dalam memupuk cadangan
devisa yang memadai dari pada strategi substitusi impor yang ternyata sering
memperbesar kekurangan devisa pertalian dengan kepadatan impor yang tinggi dari
berbagai industri substitusi impor.
7. Analisis Perangkat Teknologi dan dampak
Industri terhadap Pegangguran
Pada perkembangan zaman sekarang ini
manusia mampu menciptakan berbagai macam teknologi baru yang mampu digunakan
untuk membantu berbagai pekerjaan manusia dalam berbagai bidang, baik
pertanian, pertambangan, transportasi dan industri. Tujuan utama diciptakannya
teknologi oleh manusia ini sebenarnya adalah untuk memudahkan manusia itu
sendiri dalam hal pemenuhan kebutuhan ekonominya. Dalam bidang pertanian
misalnya setelah ditemukannya berbagi teknologi pertanian yang berupa bibit
unggul hasil persilangan, pupuk kimia, pertisida untuk menangani berbagai macam
hama dan penyakit, serta insektisida yang berguna mengurangi hama berupa
serangga diharapkan mampu meningkatkan produksi bahan makanan, sehingga
petumbuhan penduduk yang terjadi semakin pesat hingga saat ini akan tetap dapat
didimbangi dengan peningkatan produksi bahan makanan, bahkan dalam pertanian
diharapkan mampu mengalami surplus bahan makanan. Sedangkan dalam bidang
indutri, dengan adanya teknologi yang berupa mesin-mesin produksi mekanik maka
manusia akan dengan mudah memproduksi barang dan mampu membentuk suatu sistem
ekonomi yang baru yang kebih meyakinkan dan akan mampu menyerap angkatan kerja
baru apabila dibandigkan dengan pertanian.
Namun, dengan kemunculan
teknologi-teknologi baru ini yang semula diharapkan mampu memperluas kesempatan
kerja bagi masyarakat, dan mampu menyerap banyak yenaga kerja dari masyarakat.
Justru yang terjadi adalah walaupun manusia mampu menciptakan teknologi dan
semakin lama berkembang dalam berbagai bidang dengan semakin pesat, tetap saja
tidak mampu menyerap pertambahan populasi manusia yang tentunya semakin
menambah pula jumlah tenaga kerja. Dalam bidang pertanian misalnya, dengan
ditemukannya teknologi mesin pengolahan tanah yang berupa traktor maka
mengakibatkan para pekerja pertanian atau buruh tani yang tadinya mengolah
sawah dengan cara mencangkul menjadi tergantikan peranya dan tidak mempunyai
pekerjaan lagi. Sedangkan pada sektor industri misalnya dengan adanya
mesin-mesin produksi yang semakin lam berkembang menjadi semakin pesat, maka
peran manusia yang tadinya sangat dibutuhkan dalm proses produksi menjadi tidak
lagi bagitu penting dan sangat kecil . Dengan kata lain peran manusia dalam
kegiatan produlsi barang menjadi tergantikan dengan mesin-mesin produksi.
Dengan demikian maka sebuah pabrik tidak lagi membutuhkan tenaga kerja yang
banyak dalam proses produksinya dan tidak mampu menyerap angkatan kerja yang
ada.
Dibawah sistem mekanisme mesin, ritme
hidup manusia tidak lagi ditentukan oleh alam tapi dibawah komando mesin. Orang
tidak seenaknya lagi kerja tapi semuanya diatur oleh mekanisme produksi(Save M
Dagun, 1992, 8)
Seperti yang telah diuraikan diatas, bahwa
sebenarnya sebagai konsekuensi utama dengan adanya pertambahan penduduk ini
adalah munculnya tenaga kerja yang dengan jumlah semakin bertambah besar dari
waktu ke waktu, yang sebebarnya semua itu dipengaruhi oleh tingkat kelahiran
(fertilitas) dan tingkat kematian (mortalitas). Apabila dalam sebuah Negara
tingkat kelahirannya sangat cepat dan tingkat kematian sangat sedikit maka akan
menimbulkan suatu ledakan populasi penduduk yang juga tentunya akan menambah
kuantitas tenaga kerja. Sedangkan di Negara berkembang seperti Indonesia yang
terjadi adalah tingkat kelahiran masih tetap pesat dan tingkat kematianpun juga
masih tinggi karena minimnya penanganan masalah kesehatan, Walaupun,
tingkat kematian juga masih tinggi, bertambahnya jumlah penduduk melalui proses
kelahiran di dalam Negara miskin dan berkembang masih sangat pesat dan tetap
saja mengakibatkan ledakan penduduk.
Indonesia sebagai Negara yang berkembang
dengan mayoritas penduduknya masih bekerja dalam sektor agraris seperti
pertanian dan perkebunan yang dikelola baik secara modern maupun
tradisional tentunya akan sangat terpengaruh dengan adanya pertumbuhan penduduk
yang semakin pesat ini. Bagaimana tidak karena dengan adanya pertambahan
penduduk yang semakin pesat tentunya menimbulkan tumbuhnya tenaga kerja yang
ingin memperoleh kesempatan kerja. Padahal sektor agraris yang ada saat ini
tentunya tudak bisa menampung tenaga kerja yang ada, terutama diakibatkan
karena kurangnya lahan yang semain lama semakin sempit dengan adanya
pembangunan, terutama pembangunan secara fisik.
Jalan utama untuk para tenaga kerja adalah
berusaha untuk memasuki dunia pekerjaan dalam sektor industri. Padahal kita
tahu saat ini untuk masuk sektor industri dilakukan seleksi yang sangat ketat
sehingga tidak semua orang dapat memasuki sektor industri. Pendidikan yang
cukup menjadi syarat utama, padahal saat ini banyak anak muda yang putus
sekolah dan bahkan masih ada yang tidak bersekolah. Ditambah lagi perluasan
kesempatan kerja yang ada berjalan dengan sangat seret dan tidak mengimbangi
laju pertambahan angkatan kerja ini. Dengan demikian sebagai konsekuensi akhir,
yang tidak dapat dihindarkan lagi adalah munculnya pengangguran baik
pengangguran terbuka maupun pengangguran yang terselubung yang tentunya akan
mempengaruhi berjalannya sistem perekonomian di Indonesia.
Sebagai Negara berkembang, masalah
pengangguran di Indonesia sudah masih tergolong tinggi. Pada tahun 1980
tercatat jumlah pengangguran terbuka di Indonesia sudah mencapai angka 1.70
juta jiwa, daan pada tahun 2006 jumlah pengangguran di Indonesia mencapai
prosentase 12,5% (Wikipedia,com). Dan dari data BPS pada tahun 2008 di
Indonesia masih tercatat penggangguran terbuka di Indonesia mencapai angka 9,39
juta jiwa.atau 8,46% dari total angkatan kerja di Indonesia. Jumah
pengangguraan terbuka terbesar didomonasi oleh lulusan SMK sebesar 17,26% dari
jumlah total pengangguran di Indonesia. Dan penyerapan tenaga kerja terbesar
hanya terjadi pada sektor informal saja. Jumlah pengangguran tersebut terus
bertambah hingga saat ini.
Jumlah pengangguran di Indonesia ini masih
sangat memprihatinkan, mengingat saat ini Indonesia sebagai Negara yang masih
berkembanag dan belum mencapai pada msa kemajuannya harus menghadapi munculnya
perdaganagan bebas dimana setiap Negara leluasa untuk memasarkan hasil
produksinya ke Negara manapun. Dengan masih banyaknya jumlah pengangguran ini
maka tentunya akan mempengaruhi pula pada peningkatan perekonomian Negara,
sehingga ekonomi Indonesia akan melemah dan mengakibatkan Indonesia tidak mampu
bersaing dengan Negara lain dan perekonomian Indonesia akan menjadi semakin
terpuruk. Karena bagaimanapun peran seorang individu dalam sebuah sistem
kemasyarakatan dalam hal ini perekonomian sangat penting perannya dan
mempengaruhi segakla system yang ada, dan apabila ada satu sala sistem yang
tidak berjalan dalam masyarakat maka akan mempengaruhi pula sistem-sistem yang
lain serta pemeliharaan system-sistem tersebut sangat diperlukan(Talcott
Parsons, dalam George Ritzer).
Pengangguran di Indonesia paling banyak
terjadai di pedesaan yang masih mengandalkan pertanian sebagai mata pencaharian
utama penduduknya. Karena pada saat ini jumlah lahan yang ada di pedesaan untuk
pertanian semakin sempit akibat dengan adanya proses pembangunan fisik yang
saat ini banyak terlihat di pedesaan bahwa makin banyak sawah ataupun
perkebunan yang beralih fungsi menjadi pemukiman, ditambah lagi pola pertanian
masyarakat tradisional yang masih bersifat subsisten dan tradisional. Inilah
yang mengakibatkan mengapa pengangguran yang paling banyak terjadi di pedesaan.
Booth dan Sandrum (dalam Effendi, 1995 : 175) mengungkapkan bahwa hasil sensus
penduduk tahun 1980 menunjukkan sekitar 80% angkatan kerja yang ada di
Indonesia ada di pedesaan, dan hal tersebutmasih terjadi hingga saat ini.
Dengan munculnya permasalahan sosial
berupa pengangguran tersebut maka pmenimbulkan berbagai permasalahan yang
antara lain bagaimana pengangguran di Indonesia menjadi sangat rumit dan
tergolong masih tinggi. Dengan jumlah angka pengangguran yang tinggi ini
tentunya akan menimbulkan dampak bagi masyarakat Indonesia adan sisitem-sistem
yang ada. Sertya bagaimanakah upaya yang tepat yang dapat dilakukan oleh
pemerintah maupun pihak swasta menurut cara pandang sosiologis untuk mengatasi
masalah pengangguran di Indonesia.
Daftar pustaka
http://muhamedisel.blogspot.com/2012/01/industri-dalam-pembangunan-ekonomi.html