KATA PENGANTAR
Puji syukur kami
ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat dan rahmat dan karuniaNya
penulis dapat menyusun makalah ini yang berjudul KILAS BALIK KRISIS EKONOMI
TAHUN 1997-1998 & KRISIS EKONOMI TAHUN 2014-2015.
Masalah krisis ekonomi
merupakan topik yang sedang hangat di perbincangkan pada saatini. Krisis yang
terjadi di Negara Indonesia itu mempengaruhi perekonomian Indonesia. Krisis
tersebut memberikan banyak dampak terhadap roda perekonomian Indonesia.
Segala sektor kehidupan pun ikut terkena dampaknya.
Kami menyadari bahwa
makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu kami mengharapkan kritik
dan saran yang bersifat membangun agar makalah ini bisa menjadi lebih baik
untuk masa yang akan datang.
Semoga makalah ini
dapat memperluas wawasan kita mengenai krisis ekonomi sertadampaknya terhadap
perekonomian Indonesia.
DAFTAR ISI
Kata Pengantar
Bab I
Pendahuluan
........................................................................................
Bab II
Pembahasan
........................................................................................
Dampak
Krisis Terhadap Perekonomian Indonesia ........................... ..10
Kebijakan-Kebijakan
Pemerintah Dan
Peran
Imf Dalam Mengatasi Krisis ....................................................
.16
Program Reformasi Ekonomi Imf
....................................................... .17
Kritik Terhadap Imf
............................................................................ .18
Dampak Dari Krisis
.............................................................................
22
Prospek Ekonomi Indonesia ................................................................
23
Saran-Saran Imf
...................................................................................
23
Bab III
Krisis Ekonomi Tahun 2014-2015
....................................................... 24
Dampak Krisis 1997-1998 Terhadap
Pengangguran Di Indonesia ...... 28
Fenomena Pengangguran Akibat Krisis
Dan Dampak Ikatannya ........ 30
Langkah-Langkah Kebjakan Untuk
Mengatasi Krisis Ekonomi .......... 31
Pemulihan Ekonomi Melalui Kebijakan
Perbankan ..............................31
Pencegahan Dan Solusi
..........................................................................32
Bab IV
Kesimpulan
......................................................................................................
34
Daftar Pustaka ..................................................................................................35
BAB I
PENDAHULUAN
Sejak kemerdekaan hingga saat ini, Indonesia telah mengalami beberapa
fase.Salah satunya adalah zaman pemerintahan orde baru hingga Presiden Soeharto
mengundurkan diri dari jabatannya.Pada pemerintahan ini,dapat dikatakan bahwa
ekonomi Indonesia berkembang pesat. Dengan kembali membaiknya hubungan politik
dengan negara-negara barat dan adanya kesungguhan pemerintah untuk melakukan
rekonstruksi dan pembangunan ekonomi,maka arus modal mulai masuk kembali ke
Indonesia.PMA dan bantuan luar negeri setiap tahun terus meningkat.Sasaran dari
kebijakan tersebut terutama adalah untuk menekan kembali tingkat inflasi,mengurangi
defisit keuangan pemerintah dan menghidupkan kembali kegiatan produksi,
terutama ekspor yang sempat mengalami kemunduran pada masa orde lama.Indonesia
juga sempat masuk dalam kelompok Asian Tiger, yakni Negara-negara yang tingkat
prekonomiannya sangat tinggi.
Namun disamping kelebihan-kelebihan tersebut,terdapat
kekurangan dalam pemerintahan orde baru.Kebijakan-kebijakan ekonomi masa orde
baru memang telah membuat pertumbuhan ekonomi meningkat pesat,tetapi dengan
biaya yang sangat mahal dan fundamental ekonomi yang rapuh.Hal ini dapat
dilihat pada buruknya kondisi sektor perbankan nasional dan semakin besarnya
ketergantungan Indonesia terhadap modal asing,termasuk pinjaman dan
impor.Inilah yang akhirnya membuat Indonesia dilanda suatu krisis ekonomi yang
diawali oleh krisis nilai tukar rupiah terhadap dollar AS pada pertengahan
tahun 1997.Kecenderungan melemahnya rupiah semakin menjadi ketika terjadi
penembakan mahasiswa Trisakti pada tanggal 12 Mei 1998 dan aksi penjarahan pada
tanggal 14 Mei 1998.
Sejak berdirirnya orde baru tahun 1966-1998,terjadi
krisis rupiah pada pertengahan tahun 1997 yang berkembang menjadi suatu krisis
ekonomi yang besar.Krisis pada tahun ini jauh lebih parah dan kompleks
dibandingkan dengan krisis-krisis sebelumnya yang pernah dialami oleh
Indonesia. Hal ini terbukti dengan mundurnya Soeharto sebagai presiden,
kerusuhan Mei 1998, hancurnya sektor perbankan dan indikator-indikator lainnya,
baik ekonomi, sosial, maupun politik. Faktor-faktor yang diduga menjadi
penyebab suatu krisis moneter yang berubah menjadi krisis ekonomi yang besar,
yakni terjadinya depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS lebih dari
200% dan berlangsung dalam jangka waktu yang panjang.
BAB II
PEMBAHASAN
Krisis pertama yang dialami Indonesia masa orde baru
adalah kondisi ekonomi yang sangat parah warisan orde lama.Sebagian besar
produksi terhenti dan laju pertumbuhan ekonomi selama periode 1962-1966 kurang
dari 2% yang mengakibatkan penurunan pendapatan per kapita.Defisit anggaran belanja
pemerintah yang sebagian besar dibiayai dengan kredit dari BI meningkat tajam
dari 63% dari penerimaan pemerintah tahun 1962 menjadi127% tahun
1966.Selain itu,buruknya perekonomian Indonesia masa transisi juga disebabkan
oleh besarnya defisit neraca perdagangan dan utang luar negeri,yang kebanyakan
diperoleh dari negara blok timur serta inflasi yang sangat tinggi.Disamping
itu,pengawasan devisa yang amat ketat menyebabkan nilai tukar rupiah terhadap
dollar AS naik dua atau tiga kali lipat.Akibatnya terjadi kegiatan spekulatif
dan pelarian modal ke luar negeri.Hal ini memperburuk perekonomian Indonesia
pada masa itu (Siregar,1987).
Krisis kedua adalah laju inflasi yang tinggi pada
tahun 1970-an.Hal ini disebabkan karena banyaknya jumlah uang yang beredar dan
krisis pangan akhir tahun 1972.Laju inflasi memuncak hingga 41% tahun 1974
(Hill,1974).Selain itu terjadi devaluasi rupiah sebesar 50% pada November 1978.
Bulan September 1984,Indonesia mengalami krisis
perbankan ,yang bermula dari deregulasi perbankan 1 Juni 1983 yang memaksa
bank-bank negara untuk memobilisasi dana mereka dan memikul risiko kredit
macet,serta bebas untuk menentukan tingkat suku bunga,baik deposito berjangka
maupun kredit (Nasution,1987).Masalah-masalah tersebut terus berlangsung hingga
terjadi krisis ekonomi yang bermula pada tahun 1997 (Tambunan,1998).
Terakhir,antara tahun 1990-1995 ekonomi Indonesia
beberapa kali mengalami gangguan dari waktu ke waktu.Pertama,walaupun tidak
menimbulkan suatu krisis yang besar,apresiasi nilai tukar yen Jepang terhadap
dollar AS sempat merepotkan Indonesia.Laju pertumbuhan ekspor Indonesia sempat
terancam menurun dan beban ULN dari pemerintah Jepang meningkat dalam nilai
dollar AS.Kedua,pada awal tahun 1994,perekonomian Indonesia cukup terganggu dengan
adanya arus pembelian dollar AS yng bersifat spekulatif karena beredar isu akan
adanya devaluasi rupiah (Tambunan,1998).
Dari tahun 1985 ke tahun 1995, Ekonomi Thailand tumbuh
rata-rata 9%. Pada 1996, dana hedge Amerika telah menjual $400 juta mata uang
Thai.Dari 1985 sampai 2 Juli 1997, baht dipatok 25 bath per dollar AS.Pada
tanggal 14 dan tanggal 15 Mei 1997, nilai tukar bath Thailand terhadap dolar AS
mengalami goncangan akibat para investor asing mengambil keputusan “jual”,
karena tidak percaya lagi terhadap prospek perekonomian dan ketidakstabilan
politik Negara Thailand. Untuk mempertahankan nilai tukar bath agar tidak jatuh
terus, Thailand melakukan intervensi yang didukung oleh Bank Sentral Singapura.
Namun, pada tanggal 2 Juli 1997, Bank Sentral Thailand mengumumkan bahwa nilai
tukar bath dibebaskan dari ikatan dollar AS dan meminta bantuan IMF. Pengumuman
ini menyebabkan nilai bath terdepresiasi sekitar 15-20% hingga mencapai nilai
terendah, yakni 28,20 bath per dollar AS. Pada 1997, sebenarnya kondisi ekonomi
di Indonesia tampak jauh dari krisis. Tidak seperti Thailand, tingkat inflasi
Indonesia lebih rendah. Nilai tukar rupiah terhadap dolar, menguat. Dalam
kondisi ekonomi seperti itulah, banyak perusahaan di Indonesia meminjam uang
dalam bentuk dolar AS.
Krisis moneter yang terjadi di Thailand ini,
menyebabkan Indonesia dan beberapa negara Asia, seperti Filipina, Korea dan
Malaysia mengalami krisis keuangan. Ketika krisis melanda Thailand, nilai baht
terhadap dolar anjlok dan menyebabkan nilai dolar menguat. Penguatan nilai
tukar dolar berimbas ke rupiah. Sekitar bulan Juli 1997, di Indonesia terjadi
depresiasi nilai tukar rupiah, nilai rupiah terus merosot. Di bulan Agustus
1997 nilai tukar rupiah terhadap dolar AS melemah dari Rp2.500,00 menjadi
Rp2.650,00 per dolar AS. Sejak saat itu, posisi mata uang Indonesia mulai tidak
stabil. Padahal, pada saat itu hutang luar negeri Indonesia, baik swasta maupun
pemerintah, sudah sangat besar. Tatanan perbankan nasional kacau dan cadangan
devisa semakin menipis.Perusahaan yang tadinya banyak meminjam dolar (ketika
nilai tukar rupiah kuat terhadap dolar), kini sibuk memburu atau membeli dolar
untuk membayar bunga pinjaman mereka yang telah jatuh tempo, dan harus dibayar
dengan dolar. Nilai rupiah pun semakin jatuh lebih dalam lagi. IMF datang
dengan paket bantuan 23 milyar dolar, tapi tidak mampu memperbaiki keadaan.
Malahan akhirnya paket bantuan IMF itu, yang dalam penggunaannya banyak terjadi
penyelewengan, semakin menambah beban utang yang harus ditanggung oleh rakyat
Indonesia.
KRISIS
RUPIAH HINGGA KRISIS EKONOMI
Indonesia merupakan salah satu Negara di Asia yang
mengalami krisis mata uang, kemudian disusul oleh krisis moneter dan berakhir
dengan krisis ekonomi yang besar. Seperti diungkapkan oleh Haris (1998),
“Krisis ekonomi yang dialami
Indonesia sejak tahun 1997 adalah yang paling parah sepanjang orde baru.
Ditandai dengan merosotnya kurs rupiah terhadap dolar yang luar biasa, serta
menurunnya pendapatan per kapita bangsa kita yang sangat drastis. Lebih jauh
lagi, sejumlah pabrik dan industri yang bakal collaps atau disita oleh kreditor
menyusul utang sebagian pengusaha yang jatuh tempo pada tahun 1998 tak lama
lagi akan menghasilka ribuan pengngguran baru dengan sederet persoalan sosial.
Ekonom, dan politik yang baru pula” (hal.54)
Menurut Fischer (1998), sesungguhnya pada masa kejayaan Negara-negara Asia
Tenggara, krisis d beberapa negara, seperti Thailand, Korea Selatan, dan
Indonesia, sudah bisa diramalkan meski waktunya tidak dapat dipastikan.Misalnya
di Thailand dan Indonesia, defisit neraca perdagangan terlalu besar dan terus
meningkat setiap tahun, sementara pasar properti dan pasar modal di dalam
negeri berkembang pesat tanpa terkendali. Selain itu, nilai tukar mata uang di
dua Negara tersebut dipatok terhadap dolar AS terlalu rendah yang mengakibatkan
ada kecenderungan besar dari dunia usaha didalam negeri untuk melakukan
pinjaman luar negeri, sehingga banyak perusahaan dan lembaga keuangan di
negara-negara itu menjadi sangat rentan terhadap risiko perubahan nilai tukar
valuta asing. Dan yang terakhir adalah aturan serta pengawasan keuangan oleh
otoriter moneter di Thailand dan Indonesia yang sangat longgar hingga kualitas
pinjaman portfolio perbankan sangat rendah.
Anggapan Fischer tersebut dapat membantu untuk menentukan apakah krisis rupiah
terjadi karena krisis bath Thailand. Sementara menurut McLeod (1998),
krisis rupiah di Indonesia adalah hasil dari akumulasi kesalahan-kesalahan
pemerintah dalam kebijakan-kebijakan ekonominya selama orde baru, termasuk
diantaranya kebijakan moneter yang mempertahankan nilai tukar rupiah pada
tingkat yang overvalued.
Krisis moneter yang terjadi di Indonesia sejak awal Juli 1997, di akhir tahun
itu telah berubah menjadi krisis ekonomi. Melemahnya nilai tukar rupiah
terhadap dolar AS, menyebabkan harga-harga naik drastis. Banyak
perusahaan-perusahaan dan pabrik-pabrik yang melakukan pemutusan hubungan kerja
(PHK) secara besar-besaran. Jumlah pengangguran meningkat dan bahan-bahan
sembako semakin langka.Krisis ini tetap terjadi, meskipun fundamental ekonomi
Indonesia di masa lalu dipandang cukup kuat dan disanjung-sanjung oleh Bank
Dunia. Yang dimaksud fundamental ekonomi yang kuat adalah pertumbuhan ekonomi
yang cukup tinggi, laju inflasi terkendali, cadangan devisa masih cukup besar
dan realisasi anggaran pemerintah masih menunjukkan sedikit surplus.
1990
|
1991
|
1992
|
1993
|
1994
|
1995
|
1996
|
1997
|
|
Pertumbuhan
ekonomi (%)
|
7,24
|
6,95
|
6,46
|
6,50
|
7,54
|
8,22
|
7,98
|
4,65
|
Tingkat
Inflasi (%)
|
9,93
|
9,93
|
5,04
|
10,18
|
9,66
|
8,96
|
6,63
|
11,60
|
Neraca
pembayaran (US$)
|
2,099
|
1,207
|
1,743
|
741
|
806
|
1,516
|
4,451
|
-10,021
|
Neraca
perdagangan
|
5,352
|
4,801
|
7,022
|
8,231
|
7,901
|
6,533
|
5,948
|
12,964
|
Neraca
berjalan
|
-3,24
|
-4,392
|
-3,122
|
-2,298
|
-2,96
|
-6,76
|
-7,801
|
-2,103
|
Neraca
modal
|
4,746
|
5,829
|
18,111
|
17.972
|
4,008
|
10,589
|
10,989
|
-4,845
|
Pemerintah
(neto)
|
633
|
1,419
|
12,752
|
12,753
|
307
|
336
|
-522
|
4,102
|
Swasta
(neto)
|
3,021
|
2,928
|
3,582
|
3,216
|
1,593
|
5,907
|
5,317
|
-10,78
|
PMA (neto)
|
1,092
|
1,482
|
1,777
|
2,003
|
2,108
|
4,346
|
6,194
|
1,833
|
Cadangan
devisa akhir tahun (US$)
|
8,661
|
9,868
|
11.611
|
12,352
|
13,158
|
14,674
|
19,125
|
17,427
|
(bulan
impor nonmigas c&f)
|
4,7
|
4,8
|
5,4
|
5,4
|
5,0
|
4,3
|
5,2
|
4,5
|
Debt-service
ratio (%)
|
30,9
|
32,0
|
31,6
|
33,8
|
30,0
|
33,7
|
33,0
|
|
Nilai
tukar Des. (Rp/US$)
|
1,901
|
1,992
|
2,062
|
2,11
|
2,2
|
2,308
|
2,383
|
4.65
|
APBN*
(Rp.milyar)
|
3,203
|
433
|
-551
|
-1,852
|
1,495
|
2,807
|
818
|
456
|
*Tahun
anggaran
Sumber :
BPS,Indikator ekonomi; Bank Indonesia, Statistik Keuangan Indonesia;
World Bank, Indonesia in Crisis, July 2, 1998
Menanggapi perkembangan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang mulai merosot
sejak bulan Mei 1997, pada bulan Juli 1997 BI melakukan empat kali intervensi
dengan memperlebar rentang intervensi. Namun pengaruhnya tidak banyak. Nilai
rupiah dalam dolar AS terus tertekan. Tanggal 13 Agustus 1997 rupiah mencapai
nilai terendah hingga saat itu, yakni dari Rp2.655,00 menjadi Rp2.682,00 per
dollar AS. BI akhirnya menghapuskan rentang intervensi dan pada akhirnya rupiah
turun ke Rp2.755,00 per dollar AS. Tetapi terkadang nilai rupiah juga mengalami
penguatan beberapa poin. Misalnya, pada bulan Maret 1988 nilai rupiah mencapai
Rp10.550,00 untuk satu dollar AS, walaupun sebelumnya, antara bulan Januari dan
Februari sempat menembus Rp11.000,00 rupiah per dollar AS. Selama periode
Agustus 1997-1998, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS terendah terjadi pada
bulan Juli 1998, yakni mencapai nilai antara Rp14.000,00 dan Rp15.000,00 per
dollar AS. Sedangkan dari bulan September 1998 hingga Mei 1999, perkembangan
kurs rupiah terhadap dolar AS berada pada nilai antara Rp8.000,00 dan
Rp11.000,00 per dollar AS. Selama periode 1 Januari 1998 hingga 5 Agustus 1998,
depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dollar AS adalah yang paling tinggi
dibandingkan dengan mata uang-mata uang Negara-negara Asia lainnya yang juga
mengalami depresiasi terhadap dolar AS selama periode tersebut.
Perubahan Nilai Tukar Mata Uang Beberapa Negara Asia :
30/6/97-8/5/98
Negara
|
US$/100
Uang lokal 6/30’97
|
12/31’97
|
Perubahan
(%)
6/30-12/31
|
5/8’98
|
Perubahan
(%)
1/1-5/8’98
|
Perubahan
Kumulatif (%)
6/30’97-5/8’98
|
Thailand
|
4,05
|
2,08
|
-48,7
|
2,59
|
24,7
|
-36
|
Malaysia
|
39,53
|
25,70
|
-35,0
|
26,25
|
2,1
|
-33,6
|
Indonesia
|
0,04
|
0,02
|
-44,0
|
0,01
|
-53,0
|
-73,8
|
Filipina
|
3,79
|
2,51
|
-33,9
|
2,54
|
1,3
|
-33,0
|
Hongkong
|
12,90
|
12,90
|
0,0
|
12,90
|
0,0
|
0,0
|
Korea
Selatan
|
0,11
|
0,06
|
-47,7
|
0,07
|
21,9
|
-36,2
|
Taiwan
|
3,60
|
3,06
|
-14,8
|
3,10
|
1,2
|
-13,8
|
Singapura
|
69,93
|
59,44
|
-15,0
|
61,80
|
4,0
|
-11,6
|
Sumber
:Goldstein (1998)
Sebagai konsekuensinya, BI pada tanggal 14 Agustus
1997 terpaksa membebaskan nilai tukar rupiah terhadap valuta asing. Dengan
demikian, BI tidak melakukan intervensi lagi di pasar valuta asing, sehingga
nilai tukar ditentukan oleh kekuatan pasar.
FAKTOR-FAKTOR
PENYEBAB KRISIS
Ada asap pasti ada api. Pernyataan tersebut menggambarkan bahwa sesuatu yang
terjadi, itu pasti ada penyebabnya. Begitu pula dengan adanya krisis yang
terjadi, pasti ada faktor-faktor yang menyebabkan krisis itu terjadi. Analisis
dari faktor-faktor ini diperlukan, karena untuk menangani krisis tersebut
tergantung dari ketepatan diagnosa. Ada beberapa pendapat mengenai
faktor-faktor tersebut, antara lain :
1.Ada
sekelompok peneliti, yakni Tambunan (1998), Roubini (1998), Kaminsky dan
Reinhart (1996), dan Krugman (1979), yang berpendapat bahwa penyebab utama
suatu krisis ekonomi adalah karena rapuhnya fundamental ekonomi domestik dari
Negara yang bersangkutan, seperti defisit transaksi berjalan yang besar dan
terus menerus dan utang luar negeri jangka pendek yang sudah melewati batas
normal.
2.Anwar
Nasution (1998:28) melihat besarnya defisit neraca berjalan dan utang luar
negeri ditambah lemahnya sistim perbankan nasional sebagai akar terjadinya
krisis finansial.
3.Ada
kelompok peneliti lain,yakni Eichengreen dan Wyplosz (1993), Martinez-Peria
(1998), dan Obstfeld (1986),yang berpendapat bahwa krisis ekonomi terjadi
karena hancurnya sistem penentuan kurs tetap di Negara-negara yang fundamental
ekonomi atau pasarnya baik.
4.Bank Dunia
melihat adanya empat sebab utama yang bersama-sama membuat krisis menuju kea
rah kebangkrutan (World Bank,1998,pp. 1.7-1.11). Empat sebab itu antara lain,
akumulasi utang swasta luar negeri yang cepat dari tahun 1992-1997,kelemahan
pada sistim perbankan, masalah governance,termasuk kemampuan pemerintah dalam
menangani dan mengatasi krisis, dan yang terakhir adalah ketidakpastian politik
dalam menghadapi Pemilu yang lalu dan pertanyaan mengenai kesehatan Presiden
Soeharto pada waktu itu.
5.Lepi
T.Tarmidi berpendapat bahwa penyebab utama dari terjadinya krisis adalah
merosotnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang sangat tajam. Selain itu,
ada beberapa faktor lainnya menurut kejadiannya, antara lain :
a.Dianutnya
sistim devisa yang terlalu bebas tanpa adanya pengawasan yang memadai, yang
memungkinkan arus modal dan valas dapat mengalir keluar-masuk secara bebas.
b.Tingkat
depresiasi rupiah yang relatif rendah, berkisar antara 2,4% (1993) hingga 5,8%
(1991) antara tahun 1998 hingga 1996, yang berada dibawah fakta nilai tukar,
menyebabkan nilai rupiah secara kumulatif sangat overvalued.
c.Akar dari
segala permasalahan adalah utang luar negeri swasta jangka pendek dan menengah
sehingga nilai tukar rupiah mendapat tekanan yang berat karena tidak tersedia
cukup devisa untuk membayar utang yang jatuh tempo beserta bunganya, ditambah
sistim perbankan nasional yang lemah.
d.Permainan
yang dilakukan oleh spekulan asing yang dikenal hedge funds tidak mungkin dapat dibendung dengan melepas cadangan
devisa yang dimiliki Indonesia pada saat itu, karena prakek margin trading, yang memungkinkan dengan
modal relatif kecil bermain dalam jumlah besar.
e.Kebijakan
fiskal dan moneter tidak konsisten dalam suatu sistim nilai tukar dengan pita
batas intervensi.
f.Defisit
neraca berjalan yang semakin membesar (IMF Research Department Staff: 10; IDE),
yang disebabkan karena laju peningkatan impor barang dan jasa lebih besar dari
ekspor dan melonjaknya pembayaran bunga pinjaman.
g.Penanaman
modal asing portfolio yang pada
awalnya membeli saham besar-besaran yang diiming-imingi keuntungan yang besar
yang ditunjang oleh perkembangan moneter yang relatif stabil, kemudian mulai
menarik dananya keluar dalam jumlah besar.
h.IMF tidak membantu sepenuh hati
dan terus menunda pengucuran bantuan yang dijanjikannya dengan alas an
pemerintah tidak melaksanakan 50 butir kesepakatan dengan baik.
DanNegara-negara sahabat yang menjanjikan akan membantu, juga menunda bantuannya
menunggu signal dari IMF,,
padahal keadaan
perekonomian
Indonesia makin lama makin tambah terpuruk. Singapura yang
menjanjikan l.k.
US$ 5 milyar meminta pembayaran bunga yang lebih tinggi dari pinjaman
IMF, sementara
Brunei Darussalam yang menjanjikan l.k. US$ 1 milyar baru akan
mencairkan
dananya sebagai yang terakhir setelah semua pihak lain yang berjanji
akanmembantu telah mencairkan dananya dan telah habis terpakai. IMF sendiri
dinilai banyak
pihak telah
gagal menerapkan program reformasinya di Indonesia dan malah telah
mempertajam dan
memperpanjang krisis.
i.Spekulan
domestik juga meminjam dana dari sistim perbankan untuk bermain.
j.Terjadi
krisis kepercayaan dan kepanikan yang menyebabkan masyarakat luas menyerbu
membeli dollar AS, agar nilai kekayaan tidak merosot dan malah bias menarik
keuntungan dan merosotnya nilai tukar rupiah.
k.Terdapatnya
keterkaitan erat dengan Yen Jepang, yang nilainya melemah terhadap dollar AS.
DAMPAK KRISIS TERHADAP PEREKONOMIAN
INDONESIA
Pada masa perkembangan di era
globalisasi ini, Indonesia telah dilanda krisis moneter, yang mana ini
merupakan suatu awal menjadi salah satu penyebab kehidupan masyarakat di
Indonesia menjadi terpuruk. Krisis perekonomian yang terjadi pada pertengahan
tahun 1997 di Indonesia telah menimbulkan dampak social yang luas di
masyarakat. Dampak tersebut diantaranya dirasakan di bidang ekonomi secara umum, politik dan
budaya.
Sejak
pertengahan tahun 1997 tersebut, pada saat Indonesia didera krisis perekonomian
(krisis moneter), yang sebenarnya merupakan akumulasi persoalan di masa lalu
yang memuncak seiring dengan terjadinya krisis regional di hampir semua belahan
asia Krisis ini ditandai dengan adanya penurunan secara drastis pada nilai
tukar rupiah terhadap dollar, yang pada akhirnya membuat kinerja perekonomian
Indonesia banyak yang mengandalkan utang dalam dollar, dan pemasukan dalam
rupiah pun menjadi “collapse”. Kondisi perekonomian seperti ini akan merambah
ke semua sector, likuidasi beberapa bank, penutupan beberapa perusahaan, PHK
besar-besaran, dan harga-harga sembako yang semakin melonjak. Sehingga krisis
moneter ini akan memicu terjadinya krisis social di masyarakat, yang akhirnya
juga dapat memciu krisis politik tersebut.
Krisis
social yang terjadi dalam kehidupan masyarakat yang mana akibat dari adanya
krisis moneter ini, antara lain; kriminalitas melonjak dan kekerasan kolektif
meningkat. Sedangkan pada krisis politik yang terjadi akibat adanya krisis
social yang dipicu oleh krisis moneter tersebut adalah Soeharto mulai
kehilangan legitimasi politiknya. Puncak dari segala kegaduhan ini berujung
dengan perestiwa-perestiwa kekerasan politik menjelang (perestiwa Semanggi I)
dan setelah mundurnya Soeharto dari kursi Keperesidenan pada tanggal 21 Mei
1998 (perestiwa semanggi II), dan beberapa perestiwa kekerasan lainnya yang
umumnya terjadi dalam latar belakang perebutan kekuasaan politik.
Runtuhnya rezim Orde Baru yang dipimpin
oleh Presiden Soeharto setelah berkuasa selama 33 tahun yang diiringi dengan
gelombang kekerasan terhadap etnis minoritas, wanita, dan pihak lemah lain,
membuat banyak pihak bertanya-tanya mengapa negeri ini mengalami kekacauan
berdarah setiap melewati proses transisi. Krisis dapat dibedakan menjadi dua
kelompok, yaitu: pertama, yang percaya bahwa krisis itu disebabkan oleh unsur
eksternal, yaitu perubahan sentiment pasar uang secara cepat yang menimbulkan
panic financial. Panik financial ini dengan proses penularan (contagion menjadi
krisis). Dan kedua, yang berpendapat bahwa krisis timbul karena adanya
kelemahan structural di dalam perekonomian nasional, dalam system keuangan atau
perbankan dan praktek kapitalisme kroni atau kapitalisme “ertsatz”.
Krisis di Indonesia merupakan kombinasi
dari adanya gejolak eksternal melalui dampak penularan pada pasar financial
dengan ekonomi nasional yang mengandung berbagai kelemahan structural, yaitu
system perbankan dan sector riilnya. Dalam perkembangannya krisis ekonomi
menjalar ke krisis social politik karena kelemahan pada system social politik
Indonesia. Proses terjadinya ini diawali dengan adanya gejolak yang berdampak
penularan pada pasar uang yang dihadapi oleh Pemerintah dengan mengandalkan
kebijaksanaan moneter yang berlaku saat itu.
Dalam pelaksanaan kebijakan itu dapat
dilalui dengan pelebaran rentang jual beli BI dan intervensi pasar pada waktu
kurs di pasar uang “spot” melampaui apa yang ditentukan. Tetapi dampak yang
ditimbulkan dari kebijakan moneter yang menyertai langkah intervensi pasar
ternyata suku bunga yang meningkat telah memberatkan bank-bank yangf kurang
sehat, bahkan pada putaran selanjutnya bank yang sehatpun dapat pula menderita
dari penciutan likuiditas dalam perekonomian.
Dalam proses tersebut, gejolak yang
melanda pasar uang dengan dampak penularan ini pada akhirnya mengungkap
kelemahan perbankan nasional. Sektor perbankan Indonesia yang lemah tersebut
kemudian mengalami distress, yang secara cepat berubah menjadi krisis, karena
turunya kepercayaan masyarakat (deposan) yang kemudian melakukan penarikan dana
secara bersama dan besar-besaran pada banyak bank. Masalahnya menjadi sistemik,
menyangkut banyak bank dan system perbankan.
Oleh sebab itu, pemilik dana mencoba
melakukan tindakan penyelamatan dana mereka dengan memindahkannya pada bank
yang dalam persepsi mereka aman. Setelah perbankan mengalami krisis, secara
cepat kemudian masalahnya menjalar ke sector riil dalam perekonomian dan pada
akhirnya terjadilah krisis ekonomi. Kalau dari gejolak pasar uang timbul krisis
perbankan karena lemahnya perbankan, maka dari krisis perbankan timbul krisis
ekonomi yang disebabkan oleh lemahnya sector riil dari perekonomian nasional,
antara lain karena praktek kapitalisme ersatz yang penuh dengan KKN dengan
masalah yang melekat padanya.
Setelah itu dengan cepat krisis menjalar
menjadi krisis social dan politik, serta budaya, juga karena kelemahan
structural pada kehidupan social politik serta lemahnya berbagai nilai budaya
di masyarakat. Lemahnya struktur social politik ini merupakan akibat dari
penekanan pendekatan keamanan dengan penciptaan kestabilan social politik
secara dipaksakan dalam era kepemimpinan orde baru. Kestabilan ini dicapai
melalui cara-cara represi, menghilangkan semua unsure yang berpotensi menjadi
pesaing dari penguasa dengan cara apapun, bahkan yang melanggar hak asasi.
Namun sayang, kestabilan yang dapat dicapai dengan rekayasa ini merupakan
kestabilan semu, dan tidak tahan lama. Kelemahan yang terungkap dalam krisis
ini adalah sikap hidup yang lebih besar pasar dari pada tiang. Serta sikap
hidup yang tertutup dan mendasarkan diri atas tribalism, menggunakan istilah
yang digunakan oleh Prof. Arif Budiman.
Krisis Indonesia merupakan gabungan dari
factor eksternal dan kelemahan di dalam yang secara bergandengan telah
menimbulkan proses penularan secara meluas dan mendalam dan telah menyebabkan
krisis yang dialami Indonesia menjadi paling buruk di antara Negara-negara yang
,menderita krisis. Demikian pula arus lokasi social dan mulai timbulnya
tanda-tanda pemulihan posisi Indonesia lebih buruk dari kedua Negara tersebut.
Kelemahan di dalam bidang ekonomi, menyangkut tiga hal yaitu: pertama, besarnya
pinjaman perusahaan jangka pendek dalam mata uang asing (dollar) tanpa ada
perlindungan. Praktek pembiayaan usaha yang sangat mengandalkan pinjaman
sehingga debt to equity ratio di Indonesia terlalu tinggi. Dana ini digunakan
untuk investasi yang kurang baik diperhitungkan resikonya, seperti properti.
Penghasilan investasi dalam rupiah, padahal sumber dananya, bahkan yang dari
dalam negeri, dalam dollar. Invetasi jangka panjang dibiayai dengan pinjaman
jangka pendek. Semua ini secara perhitungan ekonomi sudah membahayakan. Padahal
masih ditambah lagi dengan banyaknya pemborosan dan kebocoran karena lemahnya
“governance” dalam praktek kapitalisme kroni. Yang kedua lemahnya system
perbankan di Indonesia yaitu banyaknya Bank dengan permodalan yang tidak kuat,
besarnya kredit macet dan kepatuhan terhadap peraturan kehati-hatian yang
lemah, kurang transparansi dengan pengawasan yang tidak kuat pula serta
“governance” yang lemah pada perbankan sendiri maupun pihak otoritasnya. Ini
masih kurangnya transparansi, pada pemerintah dan swasta, sehingga menimbulkan
banyak salah pengertian di masyarakat. Kemudian yang ketiga, yaitu kelemahan
sector riil sebagai akibat dari “crony capitalism” dengan ketidakefisienan
praktek monopoli dan oligopoly serta kebocoran karena korupsi dan
kebocoran-kebocoran lain sedangkan diluar ekonomi, terhadap kelemahan-kelemahan
struktur social dan politik. Sistem kenegaraan kita yang terlalu terpusat pada
kekuasaan eksekutif dan mementingkan kestabilan social dan politik dengan cara
yang represif, meniadakan segala bentuk oposisi dan beda pendapat di semua
kehidupan bernegara dan bermasyarakat, telah menghasilkan kestabilan yang
“semu”. Ketabilan semu ini rontok sangat cepat pada waktu Indonesia dilanda
krisis ekonomi.
Jadi krisis ekonomi telah mengungkap
lemahnya kelembagaan social dan plitik Indonesia, sebagaimana gejolak keuangan
yang mengungkap lemahnya kelemahan perbankan dan keuangan Indonesia. Pada waktu
keadaan ekonomi membaik, kelemahan-kelemahan ini meskipun diketahui oleh
kebanyakan orang, tidak perlu ahli atau pakar gampang untuk dilupakan.
Adapun hal-hal yang terkait dalam beberapa sifat yang mendorong krisis atau mempersulit daya tahan menghadapi gejolak, yaitu: pertama, terdapat hidup yang lebih besar pasak daripada tiang pada taraf nasional, perusahaan dan secara individu, baik dalam kegiatan ekonomi maupun hidup bermasyarakat dan bernegara. Dan kedua adanya krisis nilai budayaseperti ketertutupan, feodalistis dan tribalisme.
Adapun hal-hal yang terkait dalam beberapa sifat yang mendorong krisis atau mempersulit daya tahan menghadapi gejolak, yaitu: pertama, terdapat hidup yang lebih besar pasak daripada tiang pada taraf nasional, perusahaan dan secara individu, baik dalam kegiatan ekonomi maupun hidup bermasyarakat dan bernegara. Dan kedua adanya krisis nilai budayaseperti ketertutupan, feodalistis dan tribalisme.
Pada dasarnya pengalaman pembangunan
yang lalu dan krisis serta penaggulangannya, dari keberhasilan dan kegagalan, pembagunan
di masa depan harus lebih merata ke semua aspek kehidupan bermasyarakat dan
bernegara, yang berdasarkan pada azas keadilan dan demokrasi. Pembangunan
merupakan suatu transformasi dari masyarakat, suatu perubahan dari
hubungan-hubungan tradisional, cara berfikir tradisional, cara-cara tradisional
dalam melaksanakan bermacam-macam kegiatan kea rah yang lebih modern.
Pada proses transformasi ini harus terus
menerus dilakukan untuk menyempurnakan pembangunan dengan sasaran-sasaran yang
diinginkan bersama. Selama ini masyarakat Indonesia telah menjalani hidup yang
pada dasarnya bias dikatakan lebih besar pasak daripada tiang dengan segala
akibat-akibat negatifnya. Karena itu, dalam pembangunan setelah krisis ini
perlu memperhatikan hal-hal berikut di bawah ini, yaitu:
1.
Manusia Indonesia baru harus dapat
menghindarkan diri dari hidup yang lebih besar pasak dari pada tiang dalam
segala aspek kehidupannya. Sikap ini harus diganti dengan semangat kebanggaan
meraih yang diinginkan dengan jerih payah sendiri, tanpa jalan pitas atau jalur
cepat melalui KKN
2.
Manusia Indonesia baru harus berani
mengganti “tribalism” dengan budaya yang lebih manusiawi, budaya ketertutupan
dengan keterbukaan, feodalisme dengan demokrasi dan eksklusivisme dengan
inklusivisme.
3.
Dalam laju pembangunan mungkin sama
pentingnya dengan tingkat kemajuan. Efeknya adalah sama dengan sebaliknya dari
maksud-maksudnya, laju yang cepat mengingkatkan ketegangan-ketegangan social
dan angka pertumbuhan yang rendah menguranginya. Adapun pendapat Marxis mengnai
hal ini bahwa kemajuan tekhnologi meningkatkan antagonism social, akan tetapi
dia mendapatkan perbaikan. Perbedaan antara masyarakat-masyarakat stabil dan
masyarakat di dalam proses akselerasi pembangunan mungkin sama pentingnya
dengan perbedaan antara masyarakat maju secara berlebih-lebihan dan masyarakat
terbelakang (primitif). Di dalam suatu perkembangan dari suatu gejolak menjadi
krisis, dan dari krisis yang satu ke krisis yang lain telah menjadi proses dari
timbulnya masalah, langkah-langkah mengatasi masalah dan reaksi dari pasar
serta masyarakat, baik di dalam negeri maupun di luar, semuanya telah
tercampur. Derbagai pelajaran telah dapat dipetik, baik dari mengidentifikasi
sebab musababnya maupun sifat dari krisis dan efektif tidaknya langkah
mengatasi masalah yang diambil. Dalam kaitan ini, harus diterima bahwa dalam
menghadapi suatu penularan (contagion), kata-kata the sooner the better dan the
problems are usually are bigger than expected, memang sangat tepat. Karena itu
untuk keluar dari krisis kita tidak mempunyai kemewahan untuk berlambat-lambat
dank arena prosesnya panjang serta berat maka harus berani menerima banyak
kekecewaan selama proses tersebut. Ini menuntuk kita untuk jangan cepat putus
asa, tetapi jangan cepat merasa puas juga.
4.
Mengenai jalan keluar yang akan
dijalankan harus disesuaikann dengan masalah yang dihadapi. Karena krisis ini
bukanlah bersifat single variable, maka jalan keluarnya tidak mungkin hanya
dengan satu aspek saja. Aspeknya banyak, yang satu terkait dengan yang lain,
oleh karena itu pendekatannya harus sistemik, dalam keseluruhan kaitannya.
Bukan berarti semua harus diselesaikan sekaligus, karena dalam bidang ekonomi
saja ada masalah jangka pendek dan jangka panjang, dan ada pula mikro dan makro
yang semuanya itu harus dilakukan. Dalam hal ini, pemilihan prioritas dan
pentahapan yang realistis mungkin perlu diperhatikan. Namun dari pelajaran yang
tersebut di atas, karena tidak harus menerima kekecewaan, maka pendekatan ini
terus menerus, konsisten tetapi fleksibel atau mudah. Adapun berbagai langkah
jalan keluar yang sudah dicoba untuk dilakukan, yang pada dasarnya menyangkut
dengan bberapa aspek, yaitu: kebijakan makro, moneter dan fiscal untuk
mengatasi masalah nilai tukar, inflasi dan memburuknya perekonomian, kebijaksanaan
restrukturisasi keuangan dan perbankan, ternasuk pula restrukturisasi
perusahaan, kebijaksanaan restrukturisasi sector riil, kebijakan
restrukturisasi kelembagaan dan penanggulangan dampak social krisis dengan
program jaringan social. Pendekatannya sendiri dari cara penganggulangan
gejolak moneter pada tingkat permulaan sampai meminta bantuan IMF dalam bentuk
“stand by arrangement” dengan segala aspeknya bias dibahas secara tersendiri.
Posisi Indonesia memang aneh jika dibandingkan dengan Negara-negara lain yang
terkena krisis (Korea dan Thailand). Meskipun pada awal permulaannya
langkah-langkah yang digunakan untuk mengatasi masalah berjalan dengan lebih
baik dari Negara lain. Dan meskipun pada kondisi permulaannya Indonesia
relative lebih baik akan tetapi ternyata kondisi Indonesia dalam krisis ini
adalah paling buruk dibandingkan dengan Negara-negara lain. Dari permasalahan
social politik tersebut, pada kenyataannya yang terjadi adalah terjadinya
pergantian antar pimpinan nasional, mulai dari pimpinan Presiden Soeharto
beralih ke pimpinan Presiden B.J Habibie. Ini berlangsung pada tanggal 21 Mei
1998, didahului dengan kekacauan social yang memalukan kita sebagai manusia
Indonesia. Kebanggaan akan gerakan mahasiswa yang akhirnya berhasil menumbangkan
pada kekuasaan orde baru yang ternodai oleh adanya kekacauan social yang
menyangkut pengrusakan harta benda, pembakaran, perampkan, pemerkosaan yang
sangat biadab dan tidak bermoral itu. Ini Nampak terlihat terjadi karena cara
berpikir berdasarkan “tribalism” tadi.
Pada kenyataannya sekarang ini, masih terdapat pemerintahan baru tetapi tidak disertai dengan “good governance” yang sangat penting untuk menumbuhkan kepercayaan masyarakat baik di dalam maupun di luar negeri.
Banyaknya langkah positif yang dilakukan pemerintah dari mulai transparansi, kebebasan pers, kepedulian pada hak demokratis, dimulai dengan mempersiapkan pemilu, akan tetap saja masalahnya, pemerintahan yang legal ini belum legitimate, belum mempunyai kredibitas yang mantap. Mengenai masalah social politis ini tetap menghinggapi Indonesia dewasa ini, kelembagaan social, hokum dan ekonomi masih runyam. Memang seperti dikemukakan diatas, ini masalah lama yang baru mencolok dengan terjadinya krisis. Masalahnya sangat banyak dan di dalam aspek kelembagaan semuanya bersifat jangka menengah atau bahkan panjang. Akan tetapi, meskipun ini masalah lama juga tidak berarti bahwa ini bukanlah suatu masalah. Krisis kepercayaan terhadap pimpinan nasional, terhadap lembaga legislative, judikatif dan TNI Nampak sangat mencolok. Dan kekacauan social dengan berbagai macam pertentangan, atau antar suku, antar daerah, antar agama masih marak.
Jalan keluar dalam penyelesaian kasus krisis moneter ini, terlebih dahulu perlu adanya suatu titik balik, suatu turning point, dari pesimisme menjadi optimism, dari ketidak percayaan menjadi percaya, dari tanpa harapan menjadi penuh harapan. Titik balik ini terjadi di Negara Thailand dan Korea sebelum tanda-tanda untuk berhentinya krisis dan terjadinya pemulihan itu Nampak. Dan pada titik balik ini harus dimulai dari pimpinan nasional, dari pemerintah yang dipercaya oleh masyarakat dengan semua unsur-unsurnya di dalam negeri dan yang dipercaya oleh Negara-negara maju serta Negara-negara lain dan lembaga-lembaga multilateral, para kreditor serta investor yang sangat dibutuhkan Indonesia untuk bangkit kembali. Di Korea dan Thailand titik balik ini terjadi dengan pergantian pemerintahan. Di Indonesia pimpinan nasional telah ganti tetapi masih banyak yang menunjukkan sifat kepanjangan dari yang lama. Dan diharapkan pada Pemilu untuk anggota DPR dan untuk Presiden dapat menjadi pemicu terjadinya “turning point ” tersebut.
Pada kenyataannya sekarang ini, masih terdapat pemerintahan baru tetapi tidak disertai dengan “good governance” yang sangat penting untuk menumbuhkan kepercayaan masyarakat baik di dalam maupun di luar negeri.
Banyaknya langkah positif yang dilakukan pemerintah dari mulai transparansi, kebebasan pers, kepedulian pada hak demokratis, dimulai dengan mempersiapkan pemilu, akan tetap saja masalahnya, pemerintahan yang legal ini belum legitimate, belum mempunyai kredibitas yang mantap. Mengenai masalah social politis ini tetap menghinggapi Indonesia dewasa ini, kelembagaan social, hokum dan ekonomi masih runyam. Memang seperti dikemukakan diatas, ini masalah lama yang baru mencolok dengan terjadinya krisis. Masalahnya sangat banyak dan di dalam aspek kelembagaan semuanya bersifat jangka menengah atau bahkan panjang. Akan tetapi, meskipun ini masalah lama juga tidak berarti bahwa ini bukanlah suatu masalah. Krisis kepercayaan terhadap pimpinan nasional, terhadap lembaga legislative, judikatif dan TNI Nampak sangat mencolok. Dan kekacauan social dengan berbagai macam pertentangan, atau antar suku, antar daerah, antar agama masih marak.
Jalan keluar dalam penyelesaian kasus krisis moneter ini, terlebih dahulu perlu adanya suatu titik balik, suatu turning point, dari pesimisme menjadi optimism, dari ketidak percayaan menjadi percaya, dari tanpa harapan menjadi penuh harapan. Titik balik ini terjadi di Negara Thailand dan Korea sebelum tanda-tanda untuk berhentinya krisis dan terjadinya pemulihan itu Nampak. Dan pada titik balik ini harus dimulai dari pimpinan nasional, dari pemerintah yang dipercaya oleh masyarakat dengan semua unsur-unsurnya di dalam negeri dan yang dipercaya oleh Negara-negara maju serta Negara-negara lain dan lembaga-lembaga multilateral, para kreditor serta investor yang sangat dibutuhkan Indonesia untuk bangkit kembali. Di Korea dan Thailand titik balik ini terjadi dengan pergantian pemerintahan. Di Indonesia pimpinan nasional telah ganti tetapi masih banyak yang menunjukkan sifat kepanjangan dari yang lama. Dan diharapkan pada Pemilu untuk anggota DPR dan untuk Presiden dapat menjadi pemicu terjadinya “turning point ” tersebut.
Sejak bulan
Juli 1997, Indonesia mulai terkena imbas krisis moneter yang menimpa dunia
khususnya Asia Tenggara. Struktur ekonomi nasional Indonesia saat itu masih
lemah untuk mampu menghadapi krisis global tersebut. Dampak negatif yang
ditimbulkan antara lain, kurs rupiah terhadap dollar AS melemah pada tanggal 1
Agustus 1997, pemerintah melikuidasi 16 bank bermasalah pada akhir tahun 1997,
pemerintah membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang mengawasi
40 bank bermasalah lainnya dan mengeluarkan Kredit Likuiditas Bank Indonesia
(KLBI) untuk membantu bank-bank bermasalah tersebut. Namun kenyataannya terjadi
manipulasi besar-besaran terhadap dana KLBI yang murah tersebut. Dampak negatif
lainnya adalah kepercayaan internasional terhadap Indonesia menurun, perusahaan
milik Negara dan swasta banyak yang tidak dapat membayar utang luar negeri yang
akan dan telah jatuh tempo, angka pemutusan hubungan kerja meningkat karena
banyak perusahaan yang melakukan efisiensi atau menghentikan kegiatannya,
kesulitan menutup APBN, biaya sekolah di luar negeri melonjak, laju inflasi
yang tinggi, angka kemiskinan meningkat dan persediaan barang nasional,
khususnya Sembilan bahan pokok di pasaran mulai menipis pada akhir tahun 1997.
Akibatnya, harga-harga barang naik tidak terkendali dan berarti biaya hidup
semakin tinggi.
Selain memberi dampak negatif, krisis ekonomi juga membawa dampak positif.
Secara umum impor barang, termasuk impor buah menurun tajam, perjalanan ke luar
negeri dan pengiriman anak sekolah ke luar negeri,kebalikannya arus masuk turis
asing akan lebih besar, meningkatkan ekspor khususnya di bidang pertanian,
proteksi industri dalam negeri meningkat, dan adanya perbaikan dalam neraca
berjalan. Krisis ekonomi juga menciptakan suatu peluang besar bagi Unit Kecil
Menengah (UKM) dan Industri Skala Kecil (ISK), yakni pertumbuhan jumlah unit
usaha,jumlah pekerja atau pengusaha, munculnya tawaran dari IMB untuk melakukan
mitra usaha dengan ISK, peningkatan ekspor, dan peningkatan pendapatan untuk
kelompok menengah ke bawah.Namun secara keseluruhan, dampak negatif dari
jatuhnya nilai tukar rupiah masih lebih besar dari dampak positifnya.
KEBIJAKAN-KEBIJAKAN PEMERINTAH DAN
PERAN IMF DALAM MENGATASI KRISIS
Pada awalnya pemerintah berusaha untuk menangani
sendiri masalah krisis ini. Namun setelah menyadari bahwa merosotnya nilai
tukar rupiah terhadap dollar AS tidak dapat dibendung sendiri,lebih lagi
cadangan dollar AS di BI sudah mulai menipis karena terus digunakan untuk
meningkatkan kembali nilai tukar rupiah, tanggal 8 Oktober1997 pemerintah resmi
akan meminta bantuan kepada IMF. Strategi pemulihan IMF dalam garis besarnya
ialah mengembalikan kepercayaan masyarakat dalam dan luar negeri terhadap
kinerja ekonomi Indonesia. Inti dari setiap program pemulihan ekonomi adalah
restrukturisasi sektor finansial (Fischer 1998b). Kemudian antara Indonesia dan
IMF membuat nota kesepakatan, terdiri atas 50 butir kebijakan mencakup ekonomi
makro (fiskal dan moneter), restrukturisasi sektor keuangan, dan reformasi
struktural, yang ditandatangani bersama.
Butir-butir dalam kebijakan fiskal meliputi, tetap menggunakan prinsip anggaran
berimbang, usaha-usaha untuk mengurangi pengeluaran, seperti menghilangkan
subsidi BBM dan listrik serta membatalkan sejumlah proyek infrastruktur besar,
dan yang terakhir meningkatkan pendapatan pemerintah dengan penangguhan PPN dan
fasilitas pajak serta bea cukai, mengenakan pajak tambahan terhadap bensin,
memperbaiki audit PPN dan memperbanyak objek pajak.
Namun kesepakatan itu gagal, karena syarat-syarat dari IMF dirasa berat oleh Indonesia.
Maka dari itu dilakukanlah negosiasi dan dihasilkan kesepakatan yang
ditandatangani 15 Januari 1998. Pokok-pokok dari program IMF itu antara lain,
kebijakan makro ekonomi yang terdiri dari kebijakan fiskal dan kebijakan
moneter serta nilai tukar, kemudian restrukturisasi sektor keuangan yang
terdiri dari program restrukturisasi bank dan memperkuat aspek hukum dan
pengawasan untuk perbankan, dan yang terakhir adalah reformasi structural yang
terdiri dari perdagangan luar negeri dan investasi, deregulasi dan
swastanisasi, social safety net dan lingkungan hidup.
Pelaksanaan kesepakatan kedua ini kembali menghadapi bebagai hambatan, kemudian
diadakan negosiasi ulang yang menghasilkan Supplementary
Memorandum pada tanggal 10 April 1998 yang terdiri atas 20 butir, 7
appendix dan satu matriks. Strategi yang akan dilaksanakan adalah menstabilkan
rupiah pada tingkat yang sesuai dengan kekuatan ekonomi Indonesia, memperkuat
dan mempercepat restrukturisasi sistim perbankan, memperkuat implementasi reformasi
struktural untuk membangun ekonomi yang efisien dan berdaya saing, menyusun
kerangka untuk mengatasi masalah utang perusahaan swasta, dan yang terakhir
adalah mengembalikan pembelanjaan perdagangan pada keadaan yang normal,
sehingga ekspor bangkit kembali.
Sedangkan ke tujuh appendix itu antara lain, kebijakan
moneter dan suku bunga, pembangunan sektor perbankan, bantua anggaran
pemerintah untuk golongan lemah, reformasi BUMN dan swastanisasi, reformasi
structural, restrukturisasi utang swasta, dan hukum kebangkrutan dan reformasi
yuridis.
Program
Reformasi Ekonomi IMF
Menurut IMF,
krisis ekonomi yang berkepanjangan di Indonesia disebabkan karena
pemerintah baru
meminta bantuan IMF setelah rupiah sudah sangat terdepresiasi. Strategi
pemulihan IMF
dalam garis besarnya adalah mengembalikan kepercayaan pada mata uang,
yaitu dengan
membuat mata uang itu sendiri menarik. Inti dari setiap program pemulihan
ekonomi adalah
restrukturisasi sektor finansial. (Fischer 1998b). Sementara itu pemerintah
Indonesia telah
enam kali memperbaharui persetujuannya dengan IMF, Second
Supplementary
Memorandum of Economic and Financial Policies (MEFP) tanggal 24 Juni,
kemudian 29 Juli
1998, dan yang terakhir adalah review yang keempat, tanggal 16 Maret 1999.
Program bantuan
IMF pertama ditanda-tangani pada tanggal 31 Oktober 1997.
Program
reformasi ekonomi yang disarankan IMF ini mencakup empat bidang:
1. Penyehatan
sektor keuangan;
2. Kebijakan
fiskal;
3. Kebijakan
moneter;
4. Penyesuaian
struktural.
Untuk menunjang
program ini, IMF akan mengalokasikan stand-by credit sekitar US$
11,3 milyar
selama tiga hingga lima tahun masa program. Sejumlah US$ 3,04 milyar dicairkan
segera, jumlah
yang sama disediakan setelah 15 Maret 1998 bila program penyehatannya
telah dijalankan
sesuai persetujuan, dan sisanya akan dicairkan secara bertahap sesuai
kemajuan dalam
pelaksanaan program. Dari jumlah total pinjaman tersebut, Indonesia
sendiri
mempunyai kuota di IMF sebesar US$ 2,07 milyar yang bisa dimanfaatkan. (IMF,
1997: 1). Di
samping dana bantuan IMF, Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia dan negaranegara
sahabat juga
menjanjikan pemberian bantuan yang nilai totalnya mencapai lebihkurang US$ 37
milyar (menurut Hartcher dan Ryan). Namun bantuan dari pihak lain ini
dikaitkan dengan
kesungguhan pemerintah Indonesia melaksanakan program-program
yang
diprasyaratkan IMF.
Sebagai
perbandingan, Korea mendapat bantuan dana total sebesar US$ 57 milyar
untuk jangka
waktu tiga tahun, di antaranya sebesar US$ 21 milyar berasal dari IMF.
Thailandhanya memperoleh dana bantuan total sebesar US$ 17,2 milyar, di
antaranya US$ 4 milyardari IMF dan masing-masing US$ 0,5 milyar berasal dari
Indonesia dan Korea.
Karena dalam
beberapa hal program-program yang diprasyaratkan IMF oleh pihakIndonesia
dirasakan berat dan tidak mungkin dilaksanakan, maka dilakukanlah
negosiasikedua yang menghasilkan persetujuan mengenai reformasi ekonomi (letter
of intent) yangditanda-tangani pada tanggal 15 Januari 1998, yang
mengandung 50 butir. SaransaranIMF diharapkan akan mengembalikan kepercayaan
masyarakat dengan cepat dankurs nilai tukar rupiah bisa menjadi stabil (butir
17 persetujuan IMF 15 Januari 1998). Pokok-pokokdari program IMF adalah sebagai
berikut:
A. Kebijakan
makro-ekonomi
- Kebijakan
fiskal
- Kebijakan
moneter dan nilai tukar
B.
Restrukturisasi sektor keuangan
- Program
restrukturisasi bank
- Memperkuat
aspek hukum dan pengawasan untuk perbankan
C. Reformasi
struktural
- Perdagangan
luar negeri dan investasi
- Deregulasi dan
swastanisasi
- Social safety
net
- Lingkungan
hidup.
Setelah
pelaksanaan reformasi kedua ini kembali menghadapi berbagai hambatan,
maka diadakanlah
negosiasi ulang yang menghasilkan supplementary memorandum pada
tanggal 10 April
1998 yang terdiri atas 20 butir, 7 appendix dan satu matriks. Cakupan
memorandum ini
lebih luas dari kedua persetujuan sebelumnya, dan aspek baru yang masuk
adalah
penyelesaian utang luar negeri perusahaan swasta Indonesia. Jadwal pelaksanaan
masing-masing
program dirangkum dalam matriks komitmen kebijakan struktural. Strategi
yang akan
dilaksanakan adalah:
1. menstabilkan
rupiah pada tingkat yang sesuai dengan kekuatan ekonomi Indonesia;
2. memperkuat
dan mempercepat restrukturisasi sistim perbankan;
3. memperkuat
implementasi reformasi struktural untuk membangun ekonomi yang efisien
dan berdaya
saing.
Kritik Terhadap
IMF
Banyak kritik
yang dilontarkan oleh berbagai pihak ke alamat IMF dalam hal menangani
krisis moneter
di Asia, yang paling umum adalah bahwa: (1) program IMF terlalu seragam,
padahal masalah
yang dihadapi tiap negara tidak seluruhnya sama; dan (2) program IMF
terlalu banyak
mencampuri kedaulatan negara yang dibantu (Fischer, 1998b). Radelet dan
Sachs secara
gamblang mentakan bahwa bantuan IMF kepada tiga negara Asia (Thailand,
Korea dan Indonesia)
telah gagal. Setelah melihat program penyelematan IMF di ketiga
negara tersebut,
timbul kesan yang kuat bahwa IMF sesungguhnya tidak menguasai
permasalahan
dari timbulnya krisis, sehingga tidak bisa keluar dengan program
penyelamatan
yang tepat. Salah satu pemecahan standar IMF adalah menuntut adanya
surplus dalam
anggaran belanja negara, padahal dalam hal Indonesia anggaran belanja
negara sampai
dengan tahun anggaran 1996/1997 hampir selalu surplus, meskipun surplus
ini ditutup oleh
bantuan luar negeri resmi pemerintah. Adalah kebijakan dari Orde Baru
untuk menjaga
keseimbangan dalam anggaran belanja negara, dan prinsip ini terus
dipegang. Selama
ini tidak ada pencetakan uang secara besar-besaran untuk menutup
anggaran belanja
negara yang defisit, dan tidak ada tingkat inflasi yang melebihi 10%.
Memang dalam
anggaran belanja negara tahun 1998/1999 terdapat defisit anggaran yang
besar, namun ini
bukan disebabkan karena kebijakan deficit financing dari pemerintah,
tetapi
oleh karena
nilai tukar rupiah yang terpuruk terhadap dollar AS. Semakin jatuh nilai tukar
rupiah, semakin
besar defisit yang terjadi dalam anggaran belanja. Karena itu pemecahan
utamanya adalah
bagaimana mengembalikan nilai tukar rupiah ke tingkat yang wajar.
J. Stiglitz,
pemimpin ekonom Bank Dunia, mengkritik bahwa prakondisi IMF yang
teramat ketat
terhadap negara-negara Asia di tengah krisis yang berkepanjangan berpotensi
menyebabkan
resesi yang berkepanjangan. Kemudian berlakunya praktek apa yang
dinamakan
“konsensus Washington”, yaitu negara pengutang lazimnya harus
mendapatkan
restu pendanaan dari pemerintah AS, yang pada dasarnya hanya memperluas
kesempatan
ekonomi AS. (Kompas, 13 Mei 1998). Kabar terakhir menyebutkan bahwa
pencairan
bantuan tahap ketiga awal Juni ni akan tertunda lagi atas desakan pemerintah
AS yang
dikaitkan dengan perkembangan reformasi politik di Indonesia, dan ini akan
menunda cairnya
bantuan dari sumber-sumber lain (Hartcher dan Ryan).
Anwar Nasution
mengkritik bahwa reformasi ekonomi yang disarankan IMF bentuknya
masih
samar-samar. Tidak ada penjelasan rinci, bagaimana caranya untuk meningkatkan
penerimaan
pemerintah dan mengurangi pengeluaran pemerintah untuk mencapai sasaran
surplus anggaran
sebesar 1% dari PDB dalam tahun fiskal 1998/99, dan bagaimana ingin
dicapai sasaran
pertumbuhan ekonomi sebesar 3%. Harapan satu-satunya adalah
peningkatan
ekspor non-migas, namun kelemahan utama dari IMF adalah tidak ada program
yang jelas untuk
meningkatkan efisiensi dan menurunkan biaya produksi untuk mendorong
ekspor
non-migas. (Nasution: 27-28).
Penasehat khusus
IMF untuk Indonesia (P.R. Narvekar) sendiri juga dikutip sebagai
mengatakan bahwa
“IMF kerap menerapkan standar ganda dalam pengambilan keputusan.
Di satu pihak,
perwakilan IMF mewakili negara dan pemerintahan dengan kebijakan dan
visi politik
masing-masing, sementara keputusan yang diambil harus mengacu pada fakta
konkret ekonomi.
Karenanya, ada saja peluang bahwa tudingan atas pelanggaran hak asasi
manusia di
Indonesia yang makin marak belakangan ini, menjadi hal yang disoroti Dewan
Direktur IMF
dalam pengambilan keputusannya pekan depan”. Demikianpun halnya
dengan Bank
Dunia. (Kompas, 2 Mei 1998).
Sri Mulyani
mengemukakan, bahwa di bidang kebijaksanaan makro IMF tidak
memperlihatkan
adanya konsistensi antarinstrumen kebijaksanaan. Di satu pihak IMF
memberikan
kelenturan dengan mengizinkan dipertahankannya subsidi dan menyediakan
dana untuk
menciptakan jaringan keselamatan sosial, sedang di lain pihak menganut
kebijaksanaan
moneter yang kontraktif. Kedua kebijaksanaan ini bisa memandulkan
efektivitas
kebijaksanaan makro, terutama dalam rangka stabilitas nilai tukar dan inflasi.
(Sri Mulyani:
72). “Secara makro ancaman kegagalan terbesar kesepakatan ketiga ini berasal
dari
kebijaksanaan moneter yang masih ambivalen, karena keharusan BI melakukan
fungsi
lender of last
resort bagi
perbankan nasional, yang bertentangan dengan tema pengetatan,
juga ketidak
sejalanan kebijaksanaan moneter dan fiskal” (Sri Mulyani: 72).
Saran IMF
menutup sejumlah bank yang bermasalah untuk menyehatkan sistim
perbankan
Indonesia pada dasarnya adalah tepat, karena cara pengelolaan bank yang
amburadul dan
tidak mengikuti peraturan, namun dampak psikologisnya dari tindakan ini
tidak
diperhitungkan. Masyarakat kehilangan kepercayaan kepada otoritas moneter, Bank
Indonesia dan
perbankan nasional, sehingga memperparah keadaan dan masyarakat
beramai-ramai
memindahkan dananya dalam jumlah besar ke bank-bank asing dan
pemerintah atau
ditaruh di rumah, yang menimbulkan krisis likuiditas perbankan nasional
yang gawat. Hal
ini juga diakui oleh IMF (butir 14, 15 dan 24 dari persetujuan IMF tanggal
15 Januari
1998).
Pertanyaan
mendasar yang harus ditujukan kepada IMF menurut penulis adalah
sejauh mana IMF
bersungguh-sungguh dalam hal membantu mengatasi krisis ekonomi
yang sedang
melanda Indonesia dewasa ini? Apakah sama seperti kesungguhan Amerika
Serikat ketika
membantu Meksiko bersama-sama dengan IMF dan negara-negara maju
lainnya yang
berhasil menggalang sebesar hampir US$ 48 milyar Januari 1995? Setelah
mencapai titik
terendah tahun 1995, perekonomian Meksiko dengan cepat pada tahun 1996
dapat bangkit
kembali. Rencana IMF untuk mencairkan bantuannya secara bertahap dalam
jarak waktu yang
cukup jauh menunjukkan bahwa IMF menekan Indonesia untuk
menjalankan
programnya secara ketat dan membiarkan keadaan ekonomi Indonesia terus
merosot menuju
resesi yang berkepanjangan. Dengan menahan pencairan bantuan tahap
kedua dan
setelah diundur, hanya dicicil US$ 1 milyar dari jumlah US$ 3 milyar, ditambah
jarak yang cukup
lama antara paket bantuan pertama dan kedua, menyulitkan pemulihan
ekonomi
Indonesia secara cepat, menghilangkan kepercayaan terhadap rupiah, bahkan
memperparah
keadaan. Karena badan internasional lain dan negara-negara sahabat yang
menjanjikan
bantuan juga menunggu signal dari IMF, berhubung semua bantuan tambahan
yang besarnya
mencapai US$ 27 milyar dikaitkan dengan cairnya bantuan IMF. Di lain
pihak, kita juga
perlu berterima kasih kepada IMF karena dengan menunda mencairkan
bantuannya, IMF
sedikit banyak mempunyai andil dalam perjuangan menggulirkan tuntutan
reformasi
politik, ekonomi dan hukum di Indonesia yang pada akhirnya bermuara pada
mundurnya
Presiden Soeharto.
Saran
IMF untuk menstabilkan nilai tukar adalah dengan menerapkan kebijakan uang
ketat, menaikkan
suku bunga dan mengembalikan kepercayaan terhadap kebijakan ekonomi,
dari waktu ke
waktu mengadakan intervensi terbatas di pasar valas dengan petunjuk IMF
(lihat butir 14,
16, 17, 21 dari persetujuan 15 Januari 1998; butir 5, 7 dari Suplemen).
Sayangnyatidak ada program khusus yang secara langsung ditujukan untuk
menguatkan kembalinilai tukar rupiah, juga tidak ada Appendix untuk
masalah ini. IMF tidak memecahkanpermasalahan yang utama dan yang paling
mendesak secara langsung. IMF bisa saja terlebihdahulu mengambil kebijakan
memprioritaskan stabilisasi nilai tukar rupiah, kalau mau,dengan mencairkan
dana bantuan yang relatif besar pada bulan November lalu, yangdidukung oleh
bantuan dana dari World Bank, Asian Development Bank dan negara-negarasahabat.
Dengan demikian timbulnya krisis kepercayaan yang berkepanjangan dapat
dicegah. IMF
sendiri tampaknya tidak tahu apa yang harus dilakukannya dan berputarputar
pada kebijakan
surplus anggaran, uang ketat, tingkat bunga tinggi, pembenahan sektor
riil yang memang
perlu dan sudah sangat mendesak, dan titipan-titipan khusus dari negara-negaramaju
yaitu membuka peluang investasi yang seluas-luasnya bagi mereka dengan
menggunakan
kesempatan dalam kesempitan Indonesia.Di lain pihak memang harus diakui bahwa
tekanan ini perlu untuk memastikankesungguhan Indonesia, karena untuk beberapa
tindakan memang ada tanda-tandakekurang sungguhan di pihak Indonesia. Tidak
adanya program dari IMF yang jelas danberjangka pendek untuk mengembalikan
nilai tukar rupiah ke tingkat yang wajar danmenstabilkannya membuat pemerintah
cukup lama terombang-ambing antara memilihprogram IMF atau currency board
system, yang justru menjanjikan kepastian dan kestabilannilai tukar pada
tingkat yang wajar.
Krisis ekonomi
yang tengah berlangsung ini memang bukan tanggung-jawab IMF
dan tidak bisa
dipecahkan oleh IMF sendiri. Namun kekurangan yang paling utama dari
IMF adalah bahwa
IMF dalam program bantuannya tidak mencari pemecahan terhadap
masalah yang
pokok dan sangat mendesak ini dan berputar-putar pada reformasi struktural
yang dampaknya
jangka panjang. Bila semua kekuatan bantuan ini dikumpulkan sekaligus
secara dini,
maka hal ini dengan cepat akan memulihkan kembali kepercayaan masyarakat
dalam negeri dan
internasional. Namun bantuan dana IMF dan ketergantungan harapan
pada IMF ini
di(salah)gunakan untuk menekan pemerintah Indonesia untuk melaksanakan
reformasi
struktural secara besar-besaran. Ibaratnya orang yang sudah hampir tenggelam
diombang-ambing
ombak laut tidak segera ditolong dengan dilempari pelampung, tapi
disuruh belajar
berenang dahulu.
Reformasi
struktural sebagaimana yang dianjurkan oleh IMF memang mendasar
dan penting,
tetapi dampak hasilnya baru bisa dirasakan dalam jangka panjang, sementara
pemecahan
masalahnya sudah sangat mendesak, di mana makin ditunda makin banyak
perusahaan yang
jatuh bergelimpangan. Banyak perusahaan yang mengandalkan pasaran
dalam negeri
tidak bisa menjual barang hasil produksinya karena perusahaan-perusahaan
ini umumnya
memiliki kandungan impor yang tinggi dan harga jualnya menjadi tidak
terjangkau
dengan semakin jatuhnya nilai tukar rupiah. Jadi, utang luar negeri swasta dan
nilai tukar
rupiah yang merosot jauh dari nilai riilnya adalah masalah-masalah dasar jangka
pendek, yang
lama tidak disinggung oleh IMF. Di sini timbul keragu-raguan akan kemurnian
kebijakan
reformasi IMF, sehingga timbul teka-teki, apakah IMF benar-benar tidak melihat
inti
permasalahannya atau berpura-pura tidak tahu? Atau IMF mengambil kesempatan
dalam kesempitan
untuk memaksakan perubahan-perubahan yang sudah lama menjadi
duri di matanya
dan bagi Bank Dunia serta mewakili kepentingan-kepentingan asing?
Tampaknya di
balik anjuran program pemulihan kegiatan ekonomi ada titipan-titipan politik
dan ekonomi dari
negara-negara besar tertentu. Program reformasi IMF secara mencurigakan
mengulang
kembali tuntutan-tuntutan deregulasi ekonomi yang sudah sejak bertahun-tahun
didengungkan
oleh Bank Dunia dan belum sepenuhnya dilaksanakan oleh pemerintah
Indonesia (lihat
World Bank, 1996, bab 2;World Bank, 1997, bab 4 dan 5).
Permintaan IMF
untuk menghentikan dengan segera perlakuan pembebasan pajak
dan kemudahan
kredit untuk proyek mobil nasional dan IPTN adalah tepat, karena dalam
jangka pendek
proyek ini akan mengacaukan kebijakan pemerintah di bidang fiskal,
anggaran dan
moneter secara berarti. Juga saran IMF untuk menghapuskan subsidi BBM
dan listrik yang
kian membesar secara bertahap dalam jangka waktu tiga tahun sudah
benar. Subsidi
listrik relatif lebih mudah untuk dihapuskan, yakni melalui subsidi silang
sehingga
masyarakat berpenghasilan rendah tetap dikenakan tarif listrik yang murah dan
melalui
peningkatan efisiensi, misalnya penagihan yang lebih efektif. Namun penurunan
subsidi BBM dan
listrik oleh pemerintah secara drastis dan mendadak pada tanggal 4 Mei
1998 yang lalu
mempunyai dampak yang sangat luas terhadap perekonomian rakyat kecil,
meskipun
kepentingan rakyat kecil sangat diperhatikan dengan adanya jaringan
keselamatan
sosial. Tindakan drastis ini sedikit-banyak telah membantu memicu terjadinya
kerusuhan-kerusuhan
sosial dan politik. Yang menjadi pertanyaan di sini adalah, apakah
pemerintah tidak
bisa menunda kenaikan BBM dan listrik untuk beberapa bulan, menunggu
keresahan
masyarakat reda? Di sini pemerintah salah membaca isi dari kesepakatan dengan
IMF, karena IMF
menganjurkan penghapusan subsidi secara bertahap dan tidak secara
mendadak. Dalam
suplemen program IMF April 1998 disebutkan bahwa subsidi masih bisa
diberikan kepada
beberapa jenis barang yang banyak dikonsumsi oleh penduduk
berpenghasilan
rendah seperti bahan makanan, BBM dan listrik. Dalam situasi sekarang
hampir tidak ada
peluang untuk meningkatkan pajak. Baru pada tanggal 1 Oktober 1998
direncanakan
subsidi akan diturunkan secara berarti. (butir 10 dan 11 dari Suplemen).
Subsidi untuk
bahan pangan, BBM dan listrik sudah diperhitungkan dan dinaikkan dalam
anggaran
pemerintah (butir 20 dari Suplemen). Membengkaknya subsidi ini disebabkan
oleh beberapa
faktor, seperti kinerja yang kurang efisien, tagihan listrik dalam jumlah besar
yang tidak
dibayar, tetapi sebab utama karena merosotnya nilai tukar rupiah. Jadi tindakan
yang pokok
adalah pertama mengembalikan dulu nilai rupiah ke tingkat yang wajar dan
dari sini baru
menghitung besarnya subsidi. Tidak bisa biaya produksi dihitung atas dasar
nilai tukar
dengan dollar AS yang masih relatif tinggi lalu dibebankan kepada konsumen,
sementara
pendapatan masyarakat adalah dalam rupiah yang tidak berubah sejak sebelum
terjadinya
krisis moneter, kalau tidak menurun dan banyaknya PHK. Keadaan ini tidak
sebanding, kita
harus melihat sebab-sebab lain di balik kenaikan biaya produksi. Halnya
akan lain, bila
pendapatan masyarakat dalam rupiah juga ikut naik dua atau tiga kali lipat
sesuai dengan
kenaikan nilai tukar dollar AS, seperti orang asing yang tinggal di Indonesia
misalnya.
Dalam kaitan ini
perlu dipertanyakan, siapa yang menjadi penyebab dari terjadinya
krisis yang
berkepanjangan ini, sehingga nilai tukar valas naik sangat tinggi dan siapa
yang menarik
keuntungan dari krisis ini? Janganlah rakyat banyak diminta untuk berkorban
mengatasi krisis
ini atau membebankan di atas penderitaan rakyat dengan misalnya
menaikkan harga
BBM dan tarif listrik.
Di antara
saran-saran IMF juga ada yang mengenai perluasan penyertaan modal
asing dalam
kegiatan ekonomi Indonesia yang terlalu jauh. Modal asing sudah diberi peluang
yang cukup besar
untuk investasi di Indonesia dengan diperbolehkannya kepemilikan
hingga 100% baik
untuk pendirian PMA, bank asing maupun penguasaan saham dari
perusahaan-perusahaan
yang telah go public, kecuali saham bank nasional yang go public.
Meskipun
demikian IMF masih meminta dihapuskannya larangan membuka cabang bagi
bank asing, izin
investasi di bidang perdagangan besar dan eceran, dan liberalisasai
perdagangan yang
jauh lebih liberal dari komitmen resmi pemerintah di forum WTO, AFTA
dan APEC.
Masalahnya bukan sentimen nasionalisme, tetapi apa sumbangan dari
keterbukaan ini
terhadap restrukturisasi ekonomi dari program IMF, stabilisasi ekonomi
dan moneter, dan
apa sumbangannya terhadap pemasukan modal asing? Bukan masalah
anti asing atau
sentimen nasionalisme yang sempit, tetapi apa salahnya bila pemerintah
menyisakan
bidang kegiatan untuk pengusaha Indonesia, terutama yang bermodal kecil?
Apa permintaan
IMF ini tidak terlalu jauh? Kedengarannya seperti IMF menerima titipan
pesan sponsor
dari negara-negara besar yang ingin memaksakan kepentingannya dengan
menggunakan
kesempatan dalam kesempitan. (Bandingkan juga Sri Mulyani: 72-3).
Saran IMF
lainnya yang disisipkan dalam persetujuan dan tidak ada kaitannya dengan
program
stabilisasi ekonomi dan moneter adalah desakannya untuk menyusun Undang-
Undang
Lingkungan Hidup yang baru (butir 50 dari persetujuan IMF tanggal 15 Januari
1998).
Ikut campurnya
IMF dalam penyelesaian utang swasta adalah sangat baik, karena
IMF sebagai
lembaga yang disegani bisa banyak membantu memulihkan kepercayaan kreditorluar
negeri, yang akan memperlancar dan mempercepat proses penyelesaian utang.
IMFbisa bertindak sebagai perantara yang netral dan dipercaya.
Dampak dari Krisis
Dewasa ini semua
permasalahan dalam krisis ekonomi berputar-putar sekitar kurs
nilai tukar
valas, khususnya dollar AS, yang melambung tinggi jika dihadapkan dengan
pendapatan
masyarakat dalam rupiah yang tetap, bahkan dalam beberapa hal turun
ditambah PHK,
padahal harga dari banyak barang naik cukup tinggi, kecuali sebagian
sektor pertanian
dan ekspor. Imbas dari kemerosotan nilai tukar rupiah yang tajam secara
umum sudah kita
ketahui: kesulitan menutup APBN, harga telur/ayam naik, utang luar
negeri dalam
rupiah melonjak, harga BBM/tarif listrik naik, tarif angkutan naik, perusahaan
tutup atau
mengurangi produksinya karena tidak bisa menjual barangnya dan beban utang
yang tinggi,
toko sepi, PHK di mana-mana, investasi menurun karena impor barang modal
menjadi mahal,
biaya sekolah di luar negeri melonjak. Dampak lain adalah laju inflasi yang
tinggi selama
beberapa bulan terakhir ini, yang bukan disebabkan karena imported
inflation4 ,
tetapi lebih
tepat jika dikatakan foreign exchange induced inflation. Masalah ini
hanya bisa
dipecahkan
secara mendasar bila nilai tukar valas bisa diturunkan hingga tingkat yang
wajar atau nyata
(riil). Dengan demikian roda perekonomian bisa berputar kembali dan
harga-harga bisa
turun dari tingkat yang tinggi dan terjangkau oleh masyarakat, meskipun
tidak kembali
pada tingkat sebelum terjadinya krisis moneter.
Pada sisi lain
merosotnya nilai tukar rupiah secara tajam juga membawa hikmah.
Secara umum
impor barang menurun tajam termasuk impor buah, perjalanan ke luar negeri
dan pengiriman
anak sekolah ke luar negeri, kebalikannya arus masuk turis asing akan
lebih besar,
daya saing produk dalam negeri dengan tingkat kandungan impor rendah
meningkat
sehingga bisa menahan impor dan merangsang ekspor khususnya yang berbasis
pertanian,
proteksi industri dalam negeri meningkat sejalan dengan merosotnya nilai tukar
rupiah,
pengusaha domestik kapok meminjam dana dari luar negeri. Hasilnya adalah
perbaikan dalam
neraca berjalan. Petani yang berbasis ekspor penghasilannya dalam rupiah
mendadak
melonjak drastis, sementara bagi konsumen dalam negeri harga beras, gula, kopi
dan sebagainya
ikut naik. Sayangnya ekspor yang secara teoretis seharusnya naik, tidak
terjadi, bahkan
cenderung sedikit menurun pada sektor barang hasil industri. Meskipun
penerimaan
rupiah petani komoditi ekspor meningkat tajam, tetapi penerimaan ekspor dalam
valas umumnya
tidak berubah, karena pembeli di luar negeri juga menekan harganya karena
tahu petani
dapat untung besar, dan negara-negara produsen lain juga mengalami depresiasi
4 Suatu inflasi
dikatakan terjadi karena imported inflation bila harga barang-barang di
negara pengekspornya naik,
dan ini tidak
terjadi.dalam nilai tukar mata uangnya dan bisa menurunkan harga jual dalam
nominasi valas.
Hal yang serupa
juga terjadi untuk ekspor barang manufaktur, hanya di sini ada kesulitan
lain untuk
meningkatkan ekspor, karena ada masalah dengan pembukaan L/C dan keadaan
sosial-politik
yang belum menentu sehingga pembeli di luar negeri mengalihkan pesanan
barangnya ke
negara lain.
Sebagai dampak
dari krisis ekonomi yang berkepanjangan ini, pada Oktober 1998 ini
jumlah keluarga
miskin diperkirakan meningkat menjadi 7,5 juta, sehingga perlu dilancarkan
program-program
untuk menunjang mereka yang dikenal sebagai social safety net.
Meningkatnya
jumlah penduduk miskin tidak terlepas dari jatuhnya nilai tukar rupiah
yang tajam, yang
menyebabkan terjadinya kesenjangan antara penghasilan yang berkurang
karena PHK atau
naik sedikit dengan pengeluaran yang meningkat tajam karena tingkat
inflasi yang
tinggi, sehingga bila nilai tukar rupiah bisa dikembalikan ke nilai nyatanya
maka biaya besar
yang dibutuhkan untuk social safety net ini bisa dikurangi secara
drastis.
Namun secara
keseluruhan dampak negatifnya dari jatuhnya nilai tukar rupiah masih
lebih besar dari
dampak positifnya.
Prospek Ekonomi Indonesia
Prospek ekonomi
untuk beberapa tahun mendatang adalah kurang cerah dan akan
ditandai oleh
pertumbuhan ekonomi yang negatif. Menurut perkiraan IMF pada bulan Maret
1999 lalu,
pertumbuhan GDP nyata Indonesia pada tahun 1998/9 diperkirakan akan negatif
sebesar 16%, dan
tingkat inflasi sekitar 66%. Keadaan ekonomi yang sangat parah ini
diperkirakan
pada bulan-bulan mendatang masih akan berlangsung terus, karena krisis
belum juga
menyentuh dasar jurang. Berapa lama krisis ekonomi ini masih akan berlangsung,
sulit untuk
diramalkan karena tergantung pada banyak faktor. Faktor-faktor tersebut adalah
bantuan IMF dan
donor-donor lainnya yang segera, menguatnya nilai tukar rupiah terhadap
dollar AS pada
tingkat yang wajar, pulihnya kepercayaan investor dalam dan luar negeri,
keamanan yang
mantap, suasana politik dan sosial yang stabil.
Tapi sekali
krisis berakhir dan ekonomi berbalik bangkit kembali (rebound), maka
perbaikan ini
diperkirakan akan berlangsung relatif cepat. Karena prasarana dasar untuk
pembangunan
sudah tersedia, tenaga terlatih, pabrik, mesin-mesin sudah ada, sehingga
yang diperlukan
adalah pulihnya kepercayaan dan masuknya modal baru.
Saran-Saran IMF
Krisis moneter
telah memberikan pelajaran yang sangat berharga untuk menentukan
kebijakan di
masa depan, maka upaya yang paling utama dan mendesak bagi Indonesia
Krisis Moneter
Indonesia : Sebab, Dampak, Peran IMF dan Saran 19
dewasa ini
adalah program penyelamatan yang bisa mengembalikan kepercayaan
masyarakat serta
menstabilkan kurs rupiah pada nilai tukar yang nyata (bandingkan juga
Stiglitz). Para
ekonom dari CSIS berpendapat bahwa langkah yang harus diambil untuk
mengatasi
kemelut ini adalah dengan menstabilkan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS
dalam tingkat
yang wajar, restrukturisasi perbankan, dan penyelesaian masalah utang
swasta dengan
penjadwalan ulang (Kompas, 9 April 1998).
Penulis
menginterpretasikan nilai tukar nyata sebagai nilai tukar berdasarkan
purchasing power
parity yang
bisa menjaga keseimbangan dalam neraca berjalan dan yang
bisa menjamin
ekonomi nasional beroperasi. Dengan sistim ini, harga barang-barang
produksi dalam
negeri dengan kandungan lokal tinggi bisa meningkat daya saingnya
sehingga bisa
berkembang dan orang tidak mengandalkan bahan impor karena menjadi
mahal,
industrialisasi substitusi impor berlanjut, harga mobil terjangkau oleh
masyarakat,
impor secara
otomatis akan berkurang (misalnya buah, jalan-jalan ke luar negeri, berobat di
luar negeri,
kirim anak sekolah di luar negeri, pola makan makanan yang bahannya gandum),
dan meningkatkan
ekspor. Kegiatan jasa hotel, perjalanan, perdagangan dan angkutan juga
bisa hidup
kembali.
Setelah
mendapat pengalaman dari krisis ini, dana asing akan sangat hati-hati masuk
ke Indonesia,
begitupun pengusaha domestik akan sangat hati-hati untuk meminjam dari
luar negeri.
Ditambah dengan hilangnya insentif untuk meminjam dari luar negeri karena
biaya pinjaman
yang lebih rendah diimbangi dengan tingkat depresiasi yang lebih tinggi
dan karena tidak
adanya lagi intervensi kurs oleh BI. Dengan demikian sumber utama krisis
di masa lalu
untuk masa mendatang sudah dapat dieliminir, sejauh persyaratan di atas bisa
dipenuhi. Dengan
demikian, kegiatan ekonomi Indonesia terutama harus ditunjang oleh
kekuatan sendiri
berdasarkan dana modal yang tersedia di dalam negeri. Dunia perbankan
nasional juga
telah diajarkan dari manfaat jangka panjang untuk bertindak prudent.
Bank
Dunia menyarankan mengembalikan kepercayaan terhadap rupiah dengan
empat kebijakan
utama: restrukturisasi beban utang swasta, reformasi dan memperkuat
sistim
perbankan, memperbaiki “governance”, dan menjaga stabilitas fiskal dan moneter
selama masa transisi.
Inti dari
pemecahan krisis moneter dalam jangka pendek haruslah ditujukan kepada
pencegahan
penumpukan pembayaran utang luar negeri, baik swasta maupun pemerintah,
pada suatu saat
tertentu dan membagi (spread-out) pembayaran ini secara merata dalam
jangka waktu
yang lebih panjang pada tingkat yang terkendali (manageable).
Beberapa saran
dari penulis untuk mengatasi krisis ekonomi dewasa ini adalah
sebagai berikut:
1.
Karena Indonesia telah menanda-tangani persetujuan program reformasi struktural
ekonomi dengan
IMF, maka pemerintah juga harus melaksanakannya dengan konsekuen,
terlebih lagi
karena bantuan IMF ini terkait dengan bantuan negara-negara donor lainnya
yang jumlahnya
sangat besar. Pemerintah melaksanakan reformasi dan restrukturisasi
sektor riil dan
keuangan secara konsekuen untuk memperkuat fundamental ekonomi
Indonesia. Makin
cepat pemerintah melaksanakan program-program reformasi, makin
cepat juga
dananya cair. Yang nanti akan menjadi masalah adalah bagaimana membayar
utang bantuan
darurat yang mencapai US$ 46 milyar tersebut di samping utang-utang
pemerintah dan
swasta yang ada.
Namun
pemerintah, dalam hal ini Departemen Keuangan dan Bank Indonesia, harus
bertindak
proaktif menghadapi IMF dengan mengajukan saran-sarannya sendiri dan
menolak
program-program yang tidak relevan dan cenderung merugikan Indonesia.
2.
Membentuk kabinet baru yang terdiri atas teknokrat untuk mengembalikan
kepercayaanmasyarakat Indonesia maupun luar negeri akan kesungguhan program
reformasi. Denganadanya kepercayaan ini, termasuk program reformasi IMF,
diharapkan akan terjadi arusbalik devisa dan masuknya modal luar negeri.
3.
Mengusahakan penundaan pembayaran utang resmi pemerintah berupa pembayaran
cicilan pokok
dan bunga selama misalnya dua tahun melalui Paris Club. Sejauh ini
Indonesia memang
selalu patuh untuk membayar semua utang-utangnya secara tepat
waktu, yang juga
selalu mendapatkan pujian dari Bank Dunia dan IMF. Namun dalam
keadaan krisis
yang parah ini, apa salahnya jika Indonesia meminta penundaan waktu
pembayaran
kembali utang? Nama Indonesiapun tidak menjadi jelek karenanya, sebab
Paris Club
adalah instrumen internasional yang memang khusus dirancang untuk
membantu
negara-negara sedang berkembang dalam menghadapi masalah pembayaran
kembali
utang-utang luar negeri pemerintah. Sementara ini sudah banyak negara sedang
berkembang yang
memanfaatkan fasilitas ini. Dengan demikian, Indonesia bisa bernapas
untuk memperkuat
posisi cadangan devisanya. Sebab menurut APBN tahun 1998/99
jumlah
pembayaran cicilan utang pokok luar negeri beserta bunganya mencapai US$
7.560 juta,
sementara pinjaman luar negeri baru sebesar US$ 6.450 juta. Jumlah ini sangat
berarti untuk
memperkuat cadangan devisa negara. Seandainya Indonesia tidak menerima
bantuan barupun,
maka masih ada selisih positif sebesar lebih dari US$ 1 milyar yang
bisa dihemat.
Keuntungan dari penundaan pembayaran utang ini adalah, bahwa beban
utang tidak
menjadi bertambah, hanya saja jangka waktu pembayaran kembalinya saja
yang lebih
panjang, tanpa merusak nama Indonesia sebagai debitur yang baik. Bila Jepang
hanya mau
membantu dengan dengan menambah pinjaman baru, berarti bahwa beban
utang termasuk
pembayaran bunga untuk di kemudian hari akan bertambah besar.
Penjadwalan
kembali pembayaran utang resmi pemerintah ini juga akan banyakmembantu
meringankan defisit anggaran belanja, terlebih lagi dengan semakin
terpuruknya
nilai tukar rupiah semakin besar pula defisit dalam anggaran belanja negara
yang harus ditutup.
Hal ini telah dilakukan oleh pemerintah dan telah dicapai
kesepakatan,
bahwa Indonesia akan menunda pembayaran cicilan utang pokoknya saja.
4.
Menstabilkan nilai tukar rupiah pada tingkat yang riil, artinya tidak lagi overvalued
ketikaregim managed floating, bahkan bisa dipertimbangkan untuk
membiarkannya sedikit
undervalued untuk
meningkatkan daya saing secara internasional dan merangsang
produksi dalam
negeri dan ekspor. Nilai tukar nyata yang wajar ini harus dicari dengan
memperhatikan
kriteria-kriteria berikut, paling tidak tingkat depresiasi rupiah tidak lebih
rendah dari
depresiasi nyatanya. Dengan kurs ini defisit anggaran belanja negara bisa
ditekan, juga
tingkat inflasi, pembayaran utang luar negeri pemerintah dan swasta dalam
rupiah dapat ditekan
sehingga mampu dikembalikan, begitupun harga BBM/listrik dan
pakan ternak,
harga barang-barang produksi dalam negeri dapat terjangkau termasuk
sembako dan
pabrik-pabrik beroperasi kembali, orang-orang yang menganggur dapat
bekerja kembali,
jumlah penduduk miskin dapat ditekan kembali dan jaringan keamanan
sosial tidak
lagi diperlukan, biaya angkutan udara bisa diturunkan, perjalanan domestik
dan luar negeri
dapat hidup kembali. Dilain pihak kurs dollar AS ini harus cukup tinggi
untuk menahan
impor berbagai macam barang dan bahan serta meningkatkan daya
saing produk
dalam negeri termasuk buah-buahan, insentif untuk meminjam dana dari
luar negeri
hilang, biaya perjalanan ke dan sekolah di luar negeri tetap masih mahal,
yang semuanya
mengurangi pengurangan devisa. Sebaliknya daya saing ekspor masih
cukup tinggi,
sehingga ekspor masih bisa tetap bergairah. Bila ini disadari sebagai hal
yang utama dan
yang paling mendesak untuk mengakhiri krisis ini, maka seluruh daya
upaya dan
pikiran dapat diarahkan untuk memecahkan persoalannya.
Kebijakan
depresiasi nilai tukar yang relatif besar dampaknya sama seperti kebijakan
proteksi
produksi dalam negeri, karena merubah perbandingan harga antara barang
dalam negeri
aktif dalam forum-forum internasional seperti APEC, ASEAN, dan
sebagainya untuk
mencari pemecahan atas krisis moneter yang sedang melanda banyak
negara Asia
Timur. Masalah pokoknya adalah bagaimana memperkuat nilai tukar mata
uang
masing-masing kembali pada tingkat yang wajar. Misalnya dengan mengajukan
gagasan-gagasan
pemecahan yang konkrit dan mendesak diadakannya pertemuanpertemuan
dengan segera.
Hingga kini sikap pemerintah Indonesia terkesan pasif.
6.
Mengadakan negosiasi ulang utang luar negeri swasta Indonesia dengan para kreditoruntuk
meminta penundaan pembayaran, yang sekarang sedang diusahakan oleh Tim
Penanggulangan
Utang Luar Negeri Swasta (PULNS) atau Indonesian Debt Restructuring
Agency (INDRA).
7.
Mengembalikan stabilitas sosial dan politik dan rasa aman secepatnya sehingga
bisamemulihkan kepercayaan pemilik modal dalam dan luar negeri.
8.
Untuk mengembalikan kepercayaan dari masyarakat yang menyimpan uangnya di
dalamnegeri, pemerintah bisa mempertimbangkan melakukan operasi swap, apalagi
didukung
oleh cadangan
devisa pemerintah yang semakin membesar.
9.
Menghalangi kemungkinan kegiatan spekulasi valas besar-besaran dengan
mempelajarikemungkinan melakukan pengawasan devisa secara terbatas tanpa
melepas prinsipregim devisa bebas atau melanggar kesepakatan dengan IMF,
misalnya transfer pribadidibatasi sampai jumlah tertentu, US$ 10.000.
Selanjutnya tidak memberi peluang untukmemperdagangkan rupiah atau menaruh
deposito Rupiah di luar negeri. Deposito valas
hanya boleh di
bank-bank devisa dalam negeri dan tidak boleh ditempatkan di luar.
Krugman juga
menganjurkan memungut pajak atas dana yang masuk dan membuat
peraturan yang
menghambat pengiriman dana ke luar.
BAB
III
KRISIS
EKONOMI TAHUN 2014-2015
Dalam banyak forum saat Pilpres 2014, presiden
terpilih Jokowi menyatakan akan bekerja keras agar perekonomian Indonesia
bertumbuh hingga 7 persen tiap tahun. Angka ini jauh diatas pertumbuhan ekonomi
Indonesia yang semester pertama tahun 2014 baru mencapai 5,17 persen. Salah
satu pendorong yang kuat untuk mengejar pertumbuhan ekonomi yang dicanangkan
Jokowi adalah melalui investasi langsung yang perkembangannya terlihat
menggembirakan di Triwulan II tahun 2014
Dari data yang dilansir oleh
World Investment Report 2014 menunjukan perkembangan yang menggembirakan bagi
Indonesia. Indonesia termasuk dalam 20 negara dengan nilai foreign direct
investment (FDI) yang terbesar. Dalam laporan ini disampaikan jumlah FDI
yang mengalir ke negara berkembang yang mayoritas dari Asia mencapai total
diatas 50 persen sejak 2012. Persentasi ini menggeser dominasi negara maju yang
tadinya mendapat aliran FDI diatas 50 persen.
Mahendra Siregar Kepala Badan
Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menyatakan Indonesia masih memiliki potensi
yang jauh lebih besar untuk menarik Investor di dunia. Daya tarik sumber daya
alam dan pertumbuhan middle class income merupakan faktor yang membuat
investor mengalirkan dananya ke Indonesia.
World Investment Report 2014
juga menyampaikan data tentang FDI outflow yang lebih banyak terjadi pada
negara-negara maju, keadaan ini dipicu karena kondisi ekonomi Eropa yang
masih lesu, prediksi krisis di Amerika Serikat, serta kasus Argentina di
Amerika latin. Pemantauan UNCTAD menunjukkan bahwa, pada tahun 2013, 59
negara mengadopsi 87 langkah kebijakan yang mempengaruhi investasi asing dan
investasi nasional. Kebijakan tetap diarahkan kepada promosi investasi dan
liberalisasi investasi. Pada saat yang sama, banyak juga peraturan atau
pembatasan kebijakan investasi yang meningkat hingga 25-27 persen Langkah-langkah
liberalisasi investasi termasuk sejumlah privatisasi di ekonomi transisi dari
negara berkembang menuju negara maju.
Mayoritas kebijakan
liberalisasi investasi asing khususnya banyak terjadi di negara-negara Asia.
Liberilalisai paling banyak dilakukan untuk investasi yang berhubungan dengan
industri telekomunikasi dan sektor energi. Sebuah fenomena baru adalah upaya
pemerintah untuk mencegah divestasi oleh investor asing. Hal ini dipengaruhi
oleh adanya krisis ekonomi dan masih tingginya pengangguran di dalam
negri.Beberapa negara telah memperkenalkan persyaratan persetujuan baru untuk
relokasi dan pemutusan hubungan kerja (PHK). Pemberian insentif banyak
dilakukan oleh berbagai negara untuk alat yang menarik investor. Berdasarkan
hasil survey UNTACD tentang investment promotion agencies (IPAs), tujuan utama
investasi adalah pemciptaan lapangan pekerjaan yang diikuti dengan transfer
teknologi, promosi ekspor. Target utama dari sektor yang hendak diraih adalah IT
and business services, kemudian agriculture and tourism.
Selain perkembangan yang dipandang positif untuk
investasi dalam kaitannya dengan ekonomi Indonesia, banyak kalangan menyatakan
optimis dengan ekonomi Indonesia sehubungan dengan terpilihnya pemerintah baru
Jokowi-JK. Salah seorang VP dari perusahaan minyak CNOOC, Mr Wang menyatakan
keyakinannya bahwa investasi di Indonesia memiliki harapan yang besar.
Michael Ivanovitch Presiden dari MSI
Global, a New York-based economic research company dan juga senior economist at
the OECD in Paris, international economist at the Federal Reserve Bank of New
York dan pengajar economics at Columbia, menulis di CNBC tentang Indonesia
Indonesia, “Indonesia telah melakukan reformasi struktural di bidang
ekonomi dan mencapai perbaikan di stabilitas harga, sektor publik dan juga
memelihara pertumbuhan rata-rata 6 persen. Jokowi nampaknya akan meneruskan
reformasi ini sehingga Indonesia memiliki pendapatan pajak yang baik,
infrastktur yang lebih baik dan pengetatan pengeluaran publik.”
Optimisme atas potensi kemajuan Indonesia ini
memberikan dampak yang positif bagi keyakinan investor untuk menempatkan
investasinya di Indonesia. Pemerintahan baru Presiden terpilih, Jokowi,
menjanjikan jaminan keamanan dan kenyamanan investasi bagi banyak investor.
Kesempatan ini, seperti yang disampaikan dalam laporan UNCTAD merupakan
kesempatan untuk mengalihkan investasi Indonesia dari resource based menuju ke
technology based yang akan memberikan fondasi yang lebih kuat untuk struktur
ekonomi Indonesia.
Dampak
Krisis 1997-1998 terhadap pengangguran di Indonesia
Krisis
moneter yang melanda Indonesia sejak awal Juli 1997, yang telah berlangsung dan
telah berubah menjadi krisis ekonomi, yakni lumpuhnya kegiatan ekonomi karena
semakin banyak perusahaan yang tutup dan meningkatnya jumlah pekerja yang
menganggur. Memang krisis ini tidak sepenuhnya disebabkan karena terjadnya
krisis moneter saja, karena sebagian di perberat oleh berbagai musibah nasional
yang datang secara bertubi-tubi di tengah kesulitan ekonomi seperti kegagalan
panen padi di banyak tempat karena musim kering yang panjang dana terparah
selama 50 tahun terakhir, hama, kebakaran hutan secara besar-besaran di
Kalimantan dan peristiwa kerusuhan yang melanda banyak kota pada pertengahan
mei 1998 lalu dan kelanjutannya.
Pengangguran
atau tuna karya adalah istilah untuk orang yang tidak bekerja sama sekali,
sedang mencari kerja, bekerja kurang dari dua hari selama seminggu, atau
seseorang yang sedang berusaha mendapatkan pekerjaan yang layak. Pengangguran
umumnya disebabkan karena jumlah angkatan kerja atau para pencari kerja tidak
sebanding dengan jumlah lapangan kerja yang ada yang mampu menyerapnya.
Pengangguran seringkali menjadi masalah dalam perekonomian karena dengan adanya
pengangguran, produktivitas dan pendapatan masyarakat
akan berkurang sehingga dapat menyebabkan timbulnya kemiskinan
dan masalah-masalah sosial
lainnya.
Tingkat
pengangguran dapat dihitung dengan cara membandingkan jumlah pengangguran
dengan jumlah angkatan kerja yang dinyatakan dalam persen. Ketiadaan pendapatan
menyebabkan penganggur harus mengurangi pengeluaran konsumsinya yang
menyebabkan menurunnya tingkat kemakmuran dan kesejahteraan. Pengangguran yang
berkepanjangan juga dapat menimbulkan efek psikologis yang buruk terhadap
penganggur dan keluarganya. Tingkat pengangguran yang terlalu tinggi juga dapat
menyebabkan kekacauan politik
keamanan dan sosial sehingga mengganggu pertumbuhan dan pembangunan ekonomi.
Akibat jangka panjang adalah menurunnya GNP dan pendapatan per kapita suatu negara. Di negara-negara
berkembang seperti Indonesia,
dikenal istilah "pengangguran terselubung" di mana pekerjaan yang
semestinya bisa dilakukan dengan tenaga kerja sedikit, dilakukan oleh lebih
banyak orang.
Antara
bulan Agustus 1997 hingga Agustus 1998, jumlah penganggur yang kehilangan
pekerjaan akibat krisis (pemutusan hubungan kerja/PHK, usaha terhenti atau
masalah lain yang berhubungan dengan krisis), yaitu sebanyak 4,2 juta orang
(BPS, Sakernas 1998). Tetapi data yang tercatat di Depnaker pada tahun 1998
adalah 7,3 juta. ILO dan UNDP (1998) memperkirakan terdapat sebanyak 5,41 juta
penganggur karena dampak krisis, mencakup korban PHK dan penganggur lain yang
tidak bisa bekerja lagi karena usaha atau tempat kerjanya terkena imbas
krisis2. PHK besar-besaran di sektor manufaktur di semua tingkatan keahlian
(buruh, pelaksana dan manajer) menambah kompleksitas fenomena pengangguran di
Indonesia, apalagi ditambah dengan masalah pengangguran akibat terhentinya
sebagian besar kegiatan di sektor konstruksi yang umumnya dapat menyerap tenaga
kerja dalam jumlah cukup banyak. Diantara kelompok penganggur akibat krisis
ekonomi, beban terberat dihadapi oleh kelompok penganggur pada tingkat bawah,
seperti buruh di sektor industri, pekerja kasar di sektor konstruksi dan tenaga
jasa perorangan. Kelompok ini cenderung memiliki keterbatasan pilihan dan akses
untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya.
Sebetulnya,
pemerintah Indonesia sendiri mempunyai kebijakan yang berlaku sebelum
terjadinya krisis moneter tahun 1997-1998, dalam rangka mencapai dan memelihara
kestabilan ekonomi makro, terdapat empat kebijakan umum yang diambil selama
periode sebelum krisis, yaitu:
1.
Menerapkan kebijakan fiskal/anggaran
berimbang untuk menghindari penggunaan hutang domestik dalam pembiayaan
pengeluaran pemerintah.
2.
Menerapkan kebijakan moneter yang
berhati-hati yang menjaga agar pertumbuhan likuiditas sesuai dengan pertumbuhan
permintaan riil.
3.
Menjaga agar nilai tukar rupiah selalu
berada pada posisi yang realistis. Pada awalnya ini dilakukan melalui kebijakan
devaluasi setiap kali situasi ekonomi menuntut demikian. Kemudian, kemudian
sejak tahun 1986 hal ini dilakukan melalui penyesuaian sasaran nilai tukar
rupiah secara harian yang ditujukan untuk memelihara daya saing
industri-industri berorientasi ekspor dan sekaligus agar perkembangan nilai
tukar rupiah sesuai dengan kondisi permintaan dan penawaran di pasar valuta
asing.
4.
Mempertahankan kebijakan lalu lintas
modal (devisa) bebas sejak tahun 1971. Kebijakan ini telah membantu menarik
investasi asing dan membuat perekonomian Indonesia dapat dengan relatif cepat
menyesuaikan diri terhadap perubahan kondisi di pasar internasional
Fenomena
pengangguran akibat krisis dan dampak ikutannya.
Permasalahan
pengangguran sebagai akibat langsung dari dampak krisis yang paling parah
dirasakan di lokasi-lokasi kajian terjadi pada awal tahun 1998. Banyaknya buruh
pabrik yang diberhentikan dari perusahaannya (Bogor, Bekasi dan Tangerang) dan
banyaknya pekerja bangunan yang pulang kampong (Indramayu) merupakan dua
indikator utama fenomena pengangguran yang dirasakan oleh masyarakat di
lokasi-lokasi kajian. Dampak krisis pada penganggur lebih banyak dialami oleh
tenaga kerja tidak terampil daripada tenaga terampil. Penganggur tidak terampil
(unskilled) cenderung didominasi oleh bekas pekerja pabrik, utamanya dari
bagian produksi. Hal ini sejalan dengan data ILO dan UNDP (1998) yang
memperlihatkan, jumlah penganggur yang dihasilkan oleh sektor konstruksi dan
manufaktur mencapai dua juta pekerja, atau 10 kali lipat dari mereka di sektor
keuangan dan jasa perusahaan. Berbagai industri pengolahan di lokasi-lokasi
kajian yang berkembang dengan pesat sebelum krisis, misalnya industri konveksi,
plastik, dan pemintalan benang, mengalami penurunan produksi sangat tajam, sehingga
PHK pengurangan pekerja merupakan salah satu cara dalam rangka efisiensi
perusahaan/pabrik. Bahkan beberapa industri pemintalan benang tidak mampu
berproduksi lagi akibat ketergantungan terhadap bahan baku impor sangat tinggi,
Akibatnya semua buruh dan karyawan kehilangan pekerjaan dengan korban terbanyak
di kalangan pekerja tidak terampil.
Pengangguran nampaknya sudah menjadi pekerjaan rumah pemerintah negara ini yang
belum terselesaikan hingga sekarang ini, padahal tingkat pengangguran yang
tinggi memiliki dampak yang sangat besar bagi kesejahteraan masyarakat suatu
negara, padahal banyak cara yang dapat diupayakan dalam mengatasi tingginya
angka pengangguran di negara ini, pemerintah dapat melakukan hal-hal berikut
ini guna mengatasi tingkat pengangguran yang tinggi;
1. Pemerintah memberikan bantuan wawasan,
pengetahuan dan kemampuan jiwa kewirausahaan kepada Usaha Kecil dan Menengah
(UKM) berupa bimbingan teknis dan manajemen memberikan bantuan modal lunak
jangka panjang, perluasan pasar. Serta pemberian fasilitas khusus agar dapat
tumbuh secara mandiri dan andal bersaing di bidangnya.
2. Segera melakukan pembenahan, pembangunan dan pengembangan kawasan-kawasan, khususnya daerah yang tertinggal dan terpencil sebagai prioritas dengan membangun fasilitas transportasi dan komunikasi. Ini akan membuka lapangan kerja bagi para penganggur di berbagai jenis maupun tingkatan.
3. Segera membangun lembaga sosial yang dapat menjamin kehidupan penganggur. Seperti PT Jaminan Sosial Tenaga Kerja (PT Jamsostek) Dengan membangun lembaga itu, setiap penganggur di Indonesia akan terdata dengan baik dan mendapat perhatian khusus.
4. Mengembangkan sektor pariwisata dan kebudayaan Indonesia (khususnya daerah-daerah yang belum tergali potensinya) dengan melakukan promosi-promosi keberbagai negara untuk menarik para wisatawan asing, mengundang para investor untuk ikut berpartisipasi dalam pembangunan dan pengembangan kepariwisataan dan kebudayaan yang nantinya akan banyak menyerap tenaga kerja daerah setempat.
5. Dengan memperlambat laju pertumbuhan penduduk (meminimalisirkan menikah pada usia dini) yang diharapkan dapat menekan laju pertumbuhan sisi angkatan kerja baru.
6. Menyempurnakan kurikulum dan sistem pendidikan nasional. Sistem pendidikan yang terpadu dan berdaya saing tinggi akan meningkatkan kualitas angkatan kerja. Karena kebanyakan penganggur adalah lulusan dari tingkat satuan pendidikan.
2. Segera melakukan pembenahan, pembangunan dan pengembangan kawasan-kawasan, khususnya daerah yang tertinggal dan terpencil sebagai prioritas dengan membangun fasilitas transportasi dan komunikasi. Ini akan membuka lapangan kerja bagi para penganggur di berbagai jenis maupun tingkatan.
3. Segera membangun lembaga sosial yang dapat menjamin kehidupan penganggur. Seperti PT Jaminan Sosial Tenaga Kerja (PT Jamsostek) Dengan membangun lembaga itu, setiap penganggur di Indonesia akan terdata dengan baik dan mendapat perhatian khusus.
4. Mengembangkan sektor pariwisata dan kebudayaan Indonesia (khususnya daerah-daerah yang belum tergali potensinya) dengan melakukan promosi-promosi keberbagai negara untuk menarik para wisatawan asing, mengundang para investor untuk ikut berpartisipasi dalam pembangunan dan pengembangan kepariwisataan dan kebudayaan yang nantinya akan banyak menyerap tenaga kerja daerah setempat.
5. Dengan memperlambat laju pertumbuhan penduduk (meminimalisirkan menikah pada usia dini) yang diharapkan dapat menekan laju pertumbuhan sisi angkatan kerja baru.
6. Menyempurnakan kurikulum dan sistem pendidikan nasional. Sistem pendidikan yang terpadu dan berdaya saing tinggi akan meningkatkan kualitas angkatan kerja. Karena kebanyakan penganggur adalah lulusan dari tingkat satuan pendidikan.
Dengan demikian,
diharapkan bahwa pengangguran dapat dikurangi guna meningkatkan kesejahteraan
masyarakat kita, selain itu, berkurangnya angka pengangguran dapat mengurangi
tingkat kemiskinan yang saat ini melanda bangsa Indonesia.
Langkah-langkah Kebijakan untuk Mengatasi Krisis
Ekonomi
Langkah kebijakan yang diambil selama krisis ini
terfokus kepada mengembalikan kestabilan makroekonomi dan membangun kembali
infrastruktur ekonomi, khususnya di sektor perbankan dan dunia usaha. Adapun
langkah-langkahnya untuk mengatasi krisis ekonomi yang melanda Indonesia,
antara lain sebagai berikut :
·
Di bidang
moneter, ditempuh kebijakan moneter ketat untuk mengurangi laju inflasi dan
penurunan atau depresiasi nilai mata uang lokal secara berlebihan.
·
Di bidang
fiskal, ditempuh kebijakan yang lebih terfokus kepada upaya relokasi
pengeluaran untuk kegiatan-kegiatan tidak produktif kepada kegiatan-kegiatan
yang diharapkan dapat mengurangi social cost yang ditimbulkan oleh krisis
ekonomi. Salah satu bentuknya adalah dengan program Jaring Pengaman Sosial
- Di
bidang pengelolaan (governance), ditempuh kebijakan untuk memperbaiki
kemampuan pengelolaan baik di sektor publik maupun swasta. Termasuk di
dalamnya upaya mengurangi intervensi pemerintah, monopoli, dan
kegiatan-kegiatan yang kurang produktif lainnya.
- Di
bidang perbankan, ditempuh kebijakan yang akan memperbaiki
kelemahankelemahan sistem perbankan berupa program restrukturisasi
perbankan yang bertujuan untuk mencapai dua hal, yaitu: mengatasi dampak
krisis dan menghindari terjadinya krisis serupa di masa datang.
Pemulihan Ekonomi melalui Kebijakan Perbankan
Upaya penyehatan dan permberdayaan
sektor perbankan telah menyita perhatian yang sangat besar, tidak hanya dari
segi waktu dan tenaga yang dicurahkan tetapi juga dari segi biaya yang
dikeluarkan. Hal ini dikarenakan pentingnya peranan perbankan dalam proses
kebangkitan ekonomi secara keseluruhan. Dengan industry perbankan yang pada
umumnya mengalami kesulitan, transmisi kebijakan moneter melalui sektor
perbankan tidak berfungsi sebagaimana yang diharapkan. Dengan demikian, sangat
sulit dibayangkan format pemulihan ekonomi nasional melalui program stabilisasi
makroekonomi apabila sektor perbankan tetap berada dalam kesulitan yang parah.
Upaya pemberdayaan perbankan dapat dikelompokkan ke
dalam empat aspek, yaitu rekapitalisasi bank-bank, restrukturisasi kredit
perbankan, pengembangan infrastruktur perbankan, dan penyempurnaan pelaksanaan
fungsi pengawasan bank. Antara lain :
Pertama, rekapitalisasi bank-bank. Mengingat kondisi permodalan
bank-bank sudah demikian parah sebagai akibat dari krisis ekonomi. Kebijakan
rekapitalisasi ini disusun dalam suatu paket, yang terdiri dari:
a) Rekapitalisasi bagi
bank-bank yang viable untuk dapat menjadi sehat danmencapairasio kecukupan
modal (capital adequacy ratio –CAR) minimum sebesar 8% pada tahun 2001.
Bank-bank ini dinyatakan lulus dari tiga buah test yang sangat ketat meliputi
kondisi keuangan, integritas pemilik dan manajemen, serta renca kerja untuk
tiga tahun;
b) Pembersihan bank-bank
dari pemilik dan pengurus yang tidak memenuhi persyaratansebagai pemilik dan
pengurus yang baik (tidak fit and proper);
c) Penutupan bagi
bank-bank yang diperkirakan tidak akan mampu bertahan;
d) Penyelesaian aset-aset
bank-bank yang ditutup
e) Penyelesaian bagi kredit macet
perbankan, dengan mengalihkan ke Aset Management Unit dan menghapusbukukan
dari bank-bank yang
direkapitalisasi.
Aspek kedua adalah
restrukturisasi kredit. Aspek ini sangat menentukan keberhasilan program
rekapitalisasi perbankan dan program penyehatan ekonomi secara keseluruhan.
Restrukturisasi kredit yang dilakukan melalui prakarsa Bank Indonesia ini
melengkapi restrukturisasi kredit dan aset perbankan lainnya yang dilakukan
oleh BPPN. Restrukturisasi kredit, yang pada hakekatnya merupakan bagian utama
dari retrukturisasi dunia usaha ini, diharapkan dapat memperbaiki pembukuan
bank, dan sekaligus menggairahkan para debiturnya untuk kembali berproduksi,
yang berarti menggerakkan sektor riil.
Aspek ketiga adalah pengembangan
infrastruktur perbankan, untuk meningkatkan daya tahan bank-bank dalam
menghadapi berbagai gejolak. Salah satu sarana yang sedang disiapkan adalah
pendirian Lembaga Penjamin Simpanan, yang akan menggantikan program penjaminan
pemerintah yang pada waktu ini berlaku dan akan berakhir pada bulan Januari
2000. Sarana lain adalah pengembangan bank syariah, yang pada dirinya dapat
diharapkan mempunyai daya tahan yang lebih baik menghadapi masamasa krisis, dan
dengan demikian dapat memperkuat sistem perbankan secara keseluruhan.
Aspek keempat yang tidak kalah
pentingnya adalah menyempurnakan pelaksanaan fungsi pengawasan bank, yaitu
dengan lebih mengutamakan penegakan aturan (law enforcement) dan dengan
meningkatkan frekuensi pemeriksaan bank yang difokuskan pada resiko yang
dihadapi oleh setiap bank.
Pencegahan dan Solusi
Untuk
mengetahui cara pencegahan krisis sistem keuangan, maka kita harus mengetahui
apa itu stabilitas sistem keuangan sebagai tolak ukur kita untuk dapat keluar
dari krisis. Definisi stabilitas sistim keuangan yang banyak dipakai dibeberapa
negara mengkombinasikan atas tiga hal yatiu: terjadi alokasi resources dengan
baik sehingga proses intermediasi bisa berjalan dengan normal, berbagai
indikator sistem keuangan masih memenuhi batas stabil dan belum ada dana publik
yang dipakai untuk penyelamatan sistim keuangan.
Melakukan
pencegah agar krisis tidak terjadi, ataupun jika diperkirakan tidak mungkin
dapat dicegah terjadinya, setidaknya diupayakan agar tidak masuk ke tahap
berikutnya yaitu tahap yang lebih buruk. Untuk itu, begitu ada tanda-tanda
terlihat, segera dapat langsung diarahkan ke tahap penyelesaian. Pencegahan
juga berupaya mengalihkan tempat dan waktu terjadinya krisis, dan juga berupaya
mengendalikannya, jika ia kelak terjadi.
Pencegahan
dapat dilakukan dengan cara mengeluarkan kebijakan, kebijakan itu sendiri
dikelompokkan dalam dua paket kebijakan besar yang bersifat jangka pendek dan
jangka panjang. kebijakan jangka pendek biasanya menyangkut sisi moneter
dan fiskal, seperti nilai tukar, inflasi, utang, defisit neraca pembayaran, dan
anggaran pemerintah. sementara pola kebijakan yang bersifat jangka
panjang menyangkut masalah sektor rill, kapasitas produksi,
ketenagakerjaan, dan struktur industri.
Berbicara
mengenai masalah kebijakan, maka Bank sentral lah yang merupakan otoritas yang
mempunyai banyak perangkat kebijakan untuk menjaga stabilitas sistim keuangan
indonesia, maka beberapa kebijakan tersebut adalah :
1. Peran lender of last
resort dapat diterapkan pada saat terjadi permasalahan likuiditas
perbankan untuk mencegah terjadinya krisis yang bersifat sistemik;
2.
Bank sentral
juga dapat melakukan operasi monetar dalam bentuk intervensi di pasar valas
maupun pasar likuiditas;
3.
Secara lebih
dini bank sentral juga dapat mengatur laju pertumbuhan kredit;
4. Dalam hal pengawasan microprudential
berada di bank sentral, maka pengawasan micro dapat secara mudah
disinkronisasikan dengan kebijakan macroprudential.
Peningkatan
terhadap kualitas pendidikan Sumber Daya Manusia Indonesia juga merupakan hal
yang harus dilakukan, karena tingkat keterampilan, pendidikan dan penguasaan
teknologi sangat membantu sebagai langakah preventif untuk menghadapi krisis
keuangan kedepannya.
Penerapan
good governance yang baik, dimana menurut OECG, Principles of Governance
adalah
konsep yang berkaitan dengan akuntabilitas, kontrol, transparansi, dan
prediktibilitas. secara praktis.Corporate governance juga diartikan
sebagai sistem yang memelihara akuntabilitas antara semua pelaku.
Pada
dasarnya untuk menghadapi krisis perbankan perlu kiranya melakukan pengawasan
terhadap kegiatan perbankan, pembuatan kebijakan yang pas serta penerapan hukum
yang baik akan menjadi sebuah kombinasi yang pas dalam pencegahan ataupun
sebagai solusi jika suatu saat nanti terjadi krisis perbankan atau krisis
keuangan di Indonesia
BAB IV
KESIMPULAN
Indonesia mengalami krisis moneter bukan baru sekali
ini saja. Sebagai salah satu Negara berkembang, Indonesia sudah sering
mengalaminya. Krisis yang paling parah terjadi pada pertengahan tahun 1997.
Pada saat itu, Indonesia berada dibawah pemerintahan Presiden Soeharto (Orde
Baru), dimana kebijakan-kebijakan ekonominya telah menghasilkan kemajuan
ekonomi yang pesat. Namun disamping itu, kondisi sektor perbankan memburuk dan
semakin besarnya ketergantungan terhadap modal asing,termasuk pinjaman dan
impor, yang membuat Indonesia dilanda suatu krisis ekonomi yang besar yang
diawali oleh krisis nilai tukar rupiah terhadap dollar AS pada pertengahan
tahun 1997.Keadaan ini kemudian diperburuk dengan adanya krisis nilai tukar
bath Thailand yang menyebabkan nilai tukar dollar menguat. Penguatan nilai
tukar dollar ini berimbas ke rupiah dan menyebabkan nilai tukar rupiah semakin
anjlok.
Banyak sekali faktor-faktor yang menyebabkan krisis itu terjadi. Namun ada dua
aspek penting yang menunjukkan kondisi fundamental ekonomi Indonesia menjelang
krisis, yakni saldo transaksi berjalan dalam keadaan defisit yang melemahkan
posisi neraca pembayaran dan adanya utang luar negeri jangka pendek yang tidak
bisa dibayar pada waktu jatuh tempo.
Terjadinya krisis ini menimbulkan dampak positif dan negatif terhadap
perekonomian Indonesia, di dalam segala aspek kehidupan. Namun secara
keseluruhan, dampak negatif dari jatuhnya nilai tukar rupiah ini lebih besar
daripada dampak positif yang ditimbulkan.
Dalam menangani krisis ini, pemerintah tidak dapat menanganinya sendiri. Karena
merosotnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS tidak dapat dibendung
sendiri,lebih lagi cadangan dollar AS di BI sudah mulai menipis. Oleh karena
itu, pemerintah meminta bantuan kepada IMF. IMF adalah bank sentral dunia yang
fungsi utamanya adalah membantu memelihara stabilitas kurs devisa Negara-negara
anggotanya dan tugasnya adalah sebagai tumpuan akhir bagi bank-bank umum yang
mengalami kesulitan likuiditas.
Daftar
Pustaka