PT.Perusahaan
Listrik Negara Persero (PT. PLN) merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang
memiliki kewajiban untuk menyediakan kebutuhan listrik di Indonesia. Namun
faktanya, masih banyak kasus di mana mereka malah justru merugikan masyarakat.
Di satu sisi kegiatan monopoli mereka dimaksudkan untuk kepentingan
mayoritas masyarakat dan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sesuai UUD 1945
Pasal 33, namun di sisi lain, tindakan PT. PLN ini justru belum atau bahkan
tidak menunjukkan kinerja yang baik dalam pemenuhan kebutuhan listrik
masyarakat.
Wacana mengenai krisis listrik ini sebenarnya telah muncul sejak
awal tahun 2002 atau akhir tahun 2001. Pada waktu itu hingga sekarang muncul
pemikiran untuk keterlibatan pihak swasta terhadap pengelolaan
ketenagalistrikan di Indonesia yang selama ini dimonopoli oleh PLN. Keadaan
krisis listrik yang parah ditunjukkan oleh fenomena listrik padam serentak
se-Jawa Bali pada Rabu, 20 Februari 2008 karena terjadi defisit pasokan listrik
hingga 1.044 MW. Saat itu, pemerintah bersiap untuk mengumumkan keadaan darurat
jika defisit mencapai 1.500 MW. Krisis listrik di Indonesia bisa dikatakan
sudah berada dalam tahap yang mengkhawatirkan. Di beberapa wilayah, tiada hari
tanpa pemadaman berlgilir. Sistem Jawa-Bali yang paling maju dan
terinterkoneksi juga masih sering mengalami masalah.
Krisis listrik memuncak saat PT. Perusahaan Listrik Negara (PT.
PLN) memberlakukan pemadaman listrik secara bergiliran di berbagai wilayah
termasuk Jakarta dan sekitarnya, selama periode 11-25 Juli 2008. Hal ini
diperparah oleh pengalihan jam operasional kerja industri ke hari Sabtu dan
Minggu, sekali sebulan.
Minimnya pasokan listrik sebagian
besar dipicu stagnasi produksi PLN. PLN sebagai pemasok 90% kebutuhan listrik
nasional sulit meningkatkan produksi karena minimnya keuangan perusahaan
sehingga sulit diharapkan dapat melakukan ekspansi. Produksi PLN yang sudah ada
juga tidak optimal dan mahal karena sebagian besar pembangkit sudah tua, boros
bahan bakar, kekurangan pasokan energi primer, dan sering mengalami kerusakan.
PLN juga dikenal tidak efisien, seperti susut daya listrik yang besar, mahalnya
harga pembelian listrik swasta, tingginya kasus pencurian listrih hingga
korupsi. Stagnasi ini juga dipicu oleh pembangunan listrik yang tidak bervisi
ke depan akibat subsidi BBM regresif membuat sebagian besar pembangkit PLN
adalah pembangkit termal yang kini kian mahal. Selain mahal, konversi energi
bahan bakar fosil menjadi listrik juga sangat tidak efisien (hanya sekitar 30%)
dan tidak ramah lingkungan.
Kodisi PLN yang demikian ini akan
menjadi semakin terpuruk apabila tidak dibenahi, karena permintaan listrik akan
terus meningkat seiring dengan pertambahan penduduk. Pertumbuhan konsumsi
listrik diperkirakan 8-10% per tahun hingga 2013. Dengan demikian krisis yang
disebabkan kesenjangan (gap) antara permintaan dan pawaran sudah terprediksi sejak lama.
Jika tidak ada tambahan kapasitas yang berarti, krisis pada sistem Jawa-Bali
dan sistem interkoneksi Sumatra hanya tinggal menunggu waktu.
ANALISIS
Perusahaan Umum Listrik Negara
yang didirikan pada 1950 telah menjadi pemain kunci dalam cepanya pembangunan
sektor kelistrikan. Data statistik menunjukkan bahwa PLN adalah salah satu
perusahaan listrik terbesar di dunia dengan total pelanggan 22 juta dan lebih
dari 50.000 karyawan serta hampir seluruh bagian masyarakat adalah stakeholders
bagi PLN. PLN berdiri dilandaskan pada UU No. 15 Tahun 1985 tentang
Ketenagalistrikan dan pada tahun 2002 UUNo.15 Tahun 1985 dinyatakan tidak berlaku oleh UU No.
20 Tahun 2002. Namun kemudian melalui Putusan MK No 001-021-022/PUU-I/2003 yang
dibacakan pada hari Rabu tanggal 15 Desember 2004 menyatakan bahwa UU No. 20
Tahun 2002 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Permasalahan inti dari
persoalan UU No. 20 Tahun 2002 adalah pada Pasal 16, 17 dan 68 yang menjiwai dari
UU ketenagalistrikan tersebut. Pasal 16 menyatakan bahwa usaha penyediaan
tenaga listrik dilakukan secara terpisah oleh Badan Usaha yang berbeda. Pasal
17 menyatakan bahwa usahpembangkitan listrik dilakukan berdasarkan kompetisi
dan dilarang menguasai pasar. Akibat adanya pertentangan antara UU No.20 Tahun 2002 dengan UUD Pasal 33, menimbulkan
dampak yang merugikan kepentingan bangsa, Negara dan masyarakat (publik)
Indonesia, PLN juga terkena dampaknya. PLN yang selama ini merupakan
satu-satunya BUMN yang mengelola sektor ketenagalistrikan dan telah memberikan
sumbangsih bagi bangsa, Negara, dan masyarakat yang telah menjalankan fungsi
untuk menyediakan tenaga listrik bagi seluruh masyarakat Indonesia dengan harga
terjangkau dan juga telah memberikan peran yang besar bagi perekenomian
nasional, berdasarkan UU No. 20 tahun 2002 tidak lagi merupakan cabang produksi
yang penting yang menguasai hajat hidup orang banyak. Akibatnya, tidak adanya
jaminan dan kepastian bagi seluruh masyarakat untuk memperoleh tenaga listrik
dengan harga terjangkau dan justru akan merugikan perekonomian Negara yang pada
akhirnya akan mengurangi tingkat kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia.
Bahkan dapat pula mengganggu keamanan negara dan kedaulatan negara karena
negara tidak lagi berkewajiban mengelola cabang produksi terpenting untuk
kepentingan dan kemakmuran rakyat.