1. Pengertian
Etika
ETHOS (YUNANI): Adat Istiadat/Kebiasaan,
kebiasaan hidup yang baik yang ada pada diri seseorang ataupun suatu kelompok
masyarakat, yang berkaitan dengan nilai-nilai dan tata cara hidup serta diwariskan
dari satu generasi ke generasi berikutnya. Pengertian etika secara umum yang
sama dengan pengertian moralitas (latin=mos=adat istiadat/kebiasaan). Sistem
nilai tentang bagaimana manusia harus hidup baik sebagai manusia yang
diinstitusionalisasikan dalam sebuah adat kebiasaan dan terwujud dalam pola
perilaku yang ajek dan terulang dalam kurun waktu yang lama. Ajaran moral
menetapkan bagaimana manusia harus hidup, apa yang boleh dilakukan dan apa yang
tidak. Sedangkan etika membantu seseorang untuk mengerti mengapa ia harus
mengikuti suatu ajaran moral tertentu, atau bagaimana ia dapat mengambil sikap
yang bertanggung jawab berhadapan dengan berbagai ajaran moral. Dengan kata
lain, etika sebagai ilmu menuntut manusia untuk berperilaku moral secara kritis
dan rasional (Sonny Keraf, 1998 : 17).
2. Prinsip-prinsip
etika
Prinsip-prinsip etika bisnis yang
berlaku dalam kegiatan bisnis yang baik sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari
kehidupan kita sebagai manusia. Artinya, prinsip-prinsip etika bisnis tersebut
sangat erat terkait dengan sistem nilai yang dianut oleh masing-masing
masyarakat (Sonny Keraf, 1998 : 73). Misalnya, prinsip-prinsip erika bisnis
yang berlaku di Cina akan sangat dipengaruhi oleh sistem nilai masyarakat Cina,
sistem nilai masyarakat Eropa akan mempengaruhi prinsip-prinsip etika bisnis
yang berlaku di Eropa, dan sebagainya. Namun, prinsip-prinsip etika yang
berlaku dalam bisnis sesungguhnya adalah penerapan dari prinsip etika pada
umumnya. Tanpa mengabaikan kekhasan sistem nilai dari setiap masyarakat bisnis,
Sonny Keraf menyebutkan secara umum terdapat lima prinsip etika bisnis, yaitu:
A. Prinsip
Otonomi
Otonomi adalah sikap dan kemampuan
manusia untuk mengambil keputusan dan bertindak berdasarkan kesadarannya
sendiri tentang apa yang dianggapnya baik untuk dilakukan (Sonny Keraf, 1998 :
74).
B. Prinsip
Kejujuran
Prinsip kejujuran sangat relevan dan
mutlak diperlukan dalam dunia bisnis. Kejujuran merupakan kunci keberhasilan
para pelaku bisnis untuk mempertahankan bisnisnya dalam jangka panjang di dalam
dunia bisnis yang penuh persaingan ketat (Sonny Keraf, 1998 : 77).
C. Prinsip
Keadilan
Prinsip keadilan menuntut agar setiap
orang diperlakukan sama sesuai dengan aturan yang adil dan sesuai dengan
kriteria yang rasional objektif dan dapat dipertanggungjawabkan (Sonny Keraf,
1998 : 79). Hal ini sejalan dengan yang dikatan oleh Adam Smith mengenai
prinsip keadilan. Keraf menutip Adam Smith menyatakan bahwa prinsip paling
pokok dari keadilan adalah prinsip tidak merugikan orang lain (prinsip no harm), khususnya tidak merugikan hak
dan kepentingan orang lain (Sonny Keraf, 1998 : 148). Prinsip no harm ini pun berlaku dalam bidang
kegiatan ekonomi dan bisnis. Menurut Adam Smith prinsip ini merupakan tuntutan
dasar dan sekaligus niscaya (the
necessary principle) bagi kegiatan bisnis (Sonny Keraf, 1998 : 149).
D. Prinsip
Saling Menguntungkan (mutual benefit
principle)
Menuntut agar bisnis dijalankan
sedemikian rupa sehingga menguntungkan semua pihak.
E. Prinsip
Integritas Moral
Prinsip integritas moral dihayati sebagai
tuntutan internal dalam diri pelaku bisnis agar ia menjalankan bisnis dengan
tetap menjaga nama baiknya dan nama baik perusahaannya (Sonny Keraf, 1998 : 79).
Prinsip ini mengandung sebuah imperatif moral yang berlaku bagi diri pelaku
bisnis dan perusahaannya untuk berbisnis sedimikian rupa agar tetap menjadi
yang paling unggul dan tetap dapat dipercaya. Dengan kata lain, prinsip ini
merupakan tunutan dan dorongan dari dalam diri pelaku bisnis dan perusahaan
untuk menjadi yang terbaik dan dibanggakan (Sonny Keraf, 1998 : 80). Hal
tersebut tercermin dalam seluruh perilaku pelaku bisnis dengan semua pihak,
baik pihak di dalam perusahaan maupun pihak di luar perusahaan.
3. Basis
Teori Etika
A. Etika
Deontologi
Istilah “deontologi” berasal dari kata Yunani deon, yang berarti kewajiban. Etika deontologi menekankan kewajiban
manusia untuk bertindak secara baik. Menurut etika deontologi, suatu tindakan
itu baik bukan dinilai dan dibenarkan, berdasarkan akibat atau tujuan baik dari
tindakan itu, melainkan berdasarkan tindakan itu sendiri sebagai baik pada
dirinya sendiri (Sonny Keraf, 1998 : 23).
Misalnya, memberikan pelayanan yang baik
kepada semua konsumen, untuk mengembalikan utangnya sesuai dengan kesepakatan,
untuk menawarkan barang dan jasa dengan mutu yang sebanding dengan harganya,
dan sebagainya. Jadi, nilai tindakan itu tidak ditentukan oleh akibat atau
tujuan baik dari tindakan itu (Sonny Keraf, 1998 : 23).
B. Etika
Teleologi
Etika teleologi mengukur baik buruknya
suatu tindakan berdasarkan tujuan yang mau dicapai dengan tindakan itu atau
berdasarkan akibat yang ditimbulkan oleh tindakan itu. Suatu tindakan dinilai
baik, kalau bertujuan mencapai sesuatu yang baik, atau kalau akibat yang
ditimbulkannya baik dan berguna (Sonny Keraf, 1998 : 27).
Misalnya, mencuri bagi etika teleologi
tidak dinilai baik atau buruk berdasarkan baik buruknya tindakan itu sendiri,
melainkan oleh tujuan dan akibat dari tindakan itu. Kalau tujuannya baik, maka
tindakan itu dinilai baik. Tindakan seorang anak yang mencuri demi membayar
pengobatan ibunya yang sakit parah akan dinilai secara moral sebagai tindakan
baik, terlepas dari kenyataan bahwa secara legal ia bisa dihukum.
Sebaliknya,kalau tindakan itu bertujuan jahat, maka tindakan itu pun dinilai
jahat (Sonny Keraf, 1998 : 27).
Ada dua aliran etika
teologi, yaitu:
1. Egoisme Etis
Inti pandangan egoisme adalah bahwa tindakan dari setiap orang pada dasarnya
bertujuan untuk mengejar kepentingan pribadi dan memajukan dirinya sendiri.
Dalam bahasa Aristoteles, tujuan hidup dan tindakan setiap manusia adalah untuk
mengejar kebahagiannya (Sonny Keraf, 1998 : 28).
2. Utilitarianisme
Utilitarianisme
berasal
dari kata “utilis” yang berarti
“manfaat”. Utilitarianisme pertama kali dikembangkan oleh Jeremy Bentham
(1748-1832). Menurut teori ini, suatu tindakan dikatakan baik jika membawa
manfaat bagi sebanyak mungkin anggota masyarakat (the greatest happiness of the greatest number). Perbedaan paham utilitarianisme dengan paham egoisme terletak pada siapa yang
memperoleh manfaat. Paham egoisme
melihat dari sudut pandang kepentingan individu, sedangkan paham utilitarianisme melihat dari sudut
pandang kepentingan orang banyak (kepentingan orang banyak).
C. Teori
Hak
Teori hak merupakan suatu aspek dari
teori deontologi, karena berkaitan dengan kewajiban selain itu hak dan
kewajiban tidak dapat dipisahkan. Teori hak didasarkan atas martabat manusia
dan martabat semua manusia itu sama. Karena itu teori hak banyak diterapkan
pada individu karyawan.
D. Teori
Keutamaan
Teori ini tidak lagi mempertanyakan suatu
perbuatan itu adil, jujur ataukah murah hati, tetapi ditekankan apakah
seseorang melakukan perbuatan adil, jujur atau urah hati. Keutamanaan
didefinisikan sebagai disposisi watak yang telah diperoleh seseorang dan
memungkinkan dia bertingkah laku baik secara moral. Contoh keutamaan yaitu
kebijaksanaan, keadilan, suka bekerja keras, dan hidup yang baik. Keutamaan
yang harus menandai pebisnis perorangan bisa, yaitu kejujuran, fairness, kepercayaan, dan keuletan.
Keutamaan-keutamaan yang dimiliki manajer dan karyawan sejauh mereka mewakili
perusahaan, yaitu keramahan, loyalitas,
kehormatan, dan rasa malu.
4. Egoism
Egoism
merupakan suatu bentuk tidakadilan kepada oranglain. Ada dua konsep yang
berhubungan dengan egoisme, yaitu:
A. Egoisme Psikologis,
adalah suatu teori yang menjelaskan bahwa semua tindakan manusia dimotivasi
oleh kepentingan berkutat diri (self
servis). Menurut teori ini, tidak ada tindakan yang sesungguhnya bersifat altruisme, yaitu suatu tindakan yang
peduli pada orang lain atau mengutamakan kepentingan orang lain dengan
mengorbankan kepentingan dirinya.
B. Egoisme Etis,
adalah tindakan yang dilandasi oleh kepentingan diri sendiri (self interest).
Egoisme bisa
baik secara moral tapi bisa juga tidak. Baik, kalau tujuan yang dimaksud adalah kebahagiaan yaitu dalam arti kepenuhan hidup karena perwujudan seluruh potensi
dirinya. Namun sebaliknya, egoisme
dapat menjadi negatif ketika yang ditekankan hanyalah kenikmatan lahiriah
belaka, apalagi kenikmatan lahiriah itu dicapai dengan mengorbankan hak dan kepentingan
orang lain (Sonny Keraf, 1998 : 28).
REFERENSI
Sonny
Keraf, Etika Bisnis, Tuntutan dan Relevansinya, (Yogyakarta:
Penerbit Kanisius, 1998)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar